Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kenaikan Harga Komoditas I Pemerintah Harus Serius Membangun Kedaulatan Pangan

Negara-negara Produsen Mulai Melarang Ekspor Pangan

Foto : Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Konflik Russia dan Ukraina yang berlarut-larut menyebabkan gangguan pasokan pangan global. Kedua negara yang berperang itu merupakan produsen dan pengekspor komoditas pertanian terpenting di dunia, terutama tanaman sereal, termasuk jelai, gandum, dan jagung. Secara keseluruhan, kedua negara mengekspor 12 persen dari kalori makanan yang diperdagangkan di seluruh dunia.

Khawatir dengan kelangkaan pangan, mendorong negara-negara di dunia sudah banyak mengambil langkah untuk mengamankan pasokan pangannya sendiri dengan melarang ekspor.

Hungaria misalnya, sejak Maret lalu, telah memutuskan melarang ekspor biji-bijian dalam bentuk serealia. Meskipun keputusan ini akan mengorbankan pasokan pangan untuk Italia di mana 65 persen kebutuhannya dijamin oleh ekspor dari Hungaria. Namun, keputusan itu menurut Menteri Pertanian Hungaria, Istvan Nagy, dinilai sangat tepat.

Selain Hungaria, Moldova juga ikut menunda pengapalan komoditas gandum, jagung, dan gula. Hal itu dijelaskan Perdana Menteri Moldova, Natalia Gavrilita, yang menegaskan kebijakan itu mulai berlaku sejak Maret lalu hingga April ini.

Berbeda dengan kedua negara tersebut, Indonesia justru melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya bukan karena khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi karena eksportir lebih banyak menjual minyaknya ke luar negeri memanfaatkan harga yang tinggi. Akibatnya, pasokan dalam negeri langka sehingga memicu kenaikan harga.

Larangan itu secara resmi berlaku hari ini setelah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Minyak Sawit Mentah (Crude Palm Oil/CPO), Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Olein, POME, dan Used Cooking Oil. Regulasi tersebut dimaksudkan untuk optimalisasi ketersediaan minyak goreng dalam negeri sebagai salah satu barang kebutuhan pokok.

Dalam Permendag yang ditandatangani Menteri Perdagangan, Muhamad Lutfi, di Jakarta, Rabu (27/4), itu dalam satu drafnya menyatakan aturan akan dievaluasi setiap bulan.

Bangun Kedaulatan Pangan

Menanggapi larangan pangan sejumlah negara produsen itu, Pakar Pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan krisis pangan akan selalu membayangi negara yang memiliki kebergantungan pada impor. Untuk itu, pemerintah perlu lebih serius membangun kedaulatan pangan, bukan sekadar ketahanan pangan.

"Dengan kedaulatan pangan, kita akan terhindar dari potensi krisis yang disebabkan faktor-faktor eksternal seperti perang dan sebagainya. Selain itu, dengan memiliki kedaulatan pangan akan berdampak nyata pada ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan. Karena petani akan menjadi pihak yang paling berdaulat," kata Ramdan.

Dalam program kedaulatan pangan, petani berada pada posisi "high risk", sehingga akan mendapat keuntungan yang paling besar, bukan seperti sekarang risikonya paling besar, tapi paling kecil keuntungannya. "Kondisi itu tercipta karena tata niaga saat ini lebih ditentukan oleh aspek hilir, harga ditentukan oleh pihak yang dekat dengan konsumen, seperti tengkulak, penggilingam, distributor, dan lainnya," kata Ramdan.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, meminta pemerintah untuk mengambil sejumlah langkah strategis terutama pada komoditas strategis seperti beras.

"Pasokan dan distribusi beras harus diawasi ketat. Jangan sampai ada yang memanfaatkan situasi dan melakukan penimbunan untuk mengambil untung saat harga naik," kata Bhima.

Begitu pula di daerah pabean perlu memperketat pengawasan agar tidak terjadi penyelundupan komoditas pangan yang dilarang untuk ekspor seperti kasus minyak goreng.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atimajaya, Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan momentum kenaikan harga pangan dan komoditas primer sebenarnya menguntungkan bagi Indonesia karena kekuatan ekspor pada komoditas primer. Sayangnya, beberapa industri pengolahan juga berbahan baku komoditas primer yang harus diimpor sehingga kenaikan harga menyebabkan kenaikan biaya produksi yang signifikan.

Di sisi lain, disparitas harga internasional dan domestik mendorong pengusaha lebih menyukai ekspor dan mengabaikan penyediaan bahan baku komoditas untuk industri pengolahan makanan sehingga mendorong peningkatan harga produk pengolahan makanan. "Ini yang perlu diperhatikan," ujar Suhartoko.

Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan kehadiran negara untuk kepentingan nasional harus benar-benar mengembalikan makna kedaulatan pangan sejati yakni kedaulatan pangan di tangan produsen pangan lokal, petani, dan nelayan.

"Indonesia jangan sampai masuk dalam perangkap pangan impor yang mengerikan," ujar Yakub.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top