Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Impor Pangan - Tahun Lalu, Presiden Sudah Minta Hentikan Impor Jagung

Negara Harus Selamatkan Petani, Bukan Dihancurkan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Kebijakan pemerintah jangan merugikan petani, tapi menguntungkan pemburu rente.

Indonesia tak perlu impor pangan jika pemerintah serius pacu produktivitas nasional.

JAKARTA - Kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimpor komoditas pangan, seperti jagung dan beras, pada awal tahun ini dinilai berpotensi menurunkan harga pangan itu, sehingga akan semakin menekan nasib petani.

Padahal, pemerintah semestinya menyelamatkan nasib rakyat, terutama petani, bukan malah menghancurkannya. Pengamat pertanian dari Universitas Negeri Lampung (Unila), Maryono, mengatakan lahan pertanian Indonesia sebenarnya bisa ditanami apa saja, termasuk jagung.

"Tapi, karena ada permainan maka pertanian kita kemudian dianggap tidak mampu. Akhirnya, pemerintah cari gampang dengan impor. Padahal, kebijakan impor sama dengan mematikan petani nasional," kata dia, saat dihubungi, Senin (5/2).

Seperti dikabarkan, Kemendag telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) jagung sebanyak 171.660 ton untuk kebutuhan industri dalam negeri bagi lima perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P).

Sebelumnya, Kemendag juga membuka keran impor beras sebanyak 500 ribu ton. Maryono menambahkan kecenderungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dan stabilisasi harga pangan dalam negeri, dengan menempuh cara gampang yakni impor, juga akan semakin menjauhkan Indonesia dari kemandirian pangan.

Padahal, sejumlah kalangan menegaskan bahwa kemandirian pangan, energi, industri, dan APBN yang bebas dari utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan solusi utama agar Indonesia terhindar dari keterbelakangan dan bangkit menjadi negara maju.

Keputusan Kemendag membuka keran impor jagung juga dikritik oleh kalangan legislatif. Anggota Komisi IV DPR RI, Rahmad Handoyo, menilai langkah pemerintah melakukan impor membuat petani merasa resah.

"Rencana impor jagung itu telah mencederai para petani jagung. Sebab, impor jagung itu akan merugikan para petani jagung kita," papar dia. Menurut Rahmad, sebelum kebijakan impor itu diberlakukan, semestinya Kemendag terlebih dahulu mengkaji untung ruginya buat para petani.

"Kasihan petani kita. Semestinya negara dengan berbagai kebijakannya harus melindungi mereka (petani), bukan malah membuat kebijakan yang merugikan petani," tegas dia.

Rahmad pun mengungkapkan, pada akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah memerintahkan Menteri Pertanian segera menghentikan impor jagung.

"Perintah Presiden bertujuan meningkatkan penghasilan petani, dan petani memang semakin bergairah untuk menanam jagung karena menguntungkan. Kini, di awal 2018, muncul lagi kebijakan impor.

Ini bagaimana? Jangan sampai kebijakan pemerintah justru merugikan petani dan menguntungkan pemburu rente," tukas dia. Sedangkan Maryono menilai ketidaksesuaian perintah Presiden dengan kebijakan menteri mengindikasikan implementasi tingkat bawah gagal menerjemahkan perintah atasan.

Menurut dia, Indonesia semestinya tidak perlu impor pangan jika pemerintah mampu mengoptimalkan dan meningkatkan produktivitas pangan nasional. Caranya, lanjut dia, dengan memodernisasi pertanian.

Moderninasi bukan saja soal alat, tetapi lebih kepada manajemen pengelolaan pertanian yang baik. "Sehingga peran penyuluh pertanian sangat penting. Di sinilah kepentingan pemerintah harus jelas, negara harus hadir di tengah-tengah petani," ujar Maryono.

Amanat UU

Pangan Anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan, Ahmad Yakub, mengatakan bahwa kebijakan impor itu menunjukkan kegagalan program produksi pangan pemerintah.

Salah satu yang paling fatal adalah pemerintah hingga kini belum memenuhi amanat UU Pangan untuk membentuk Badan Pangan Nasional. "Kenapa Presiden tak kunjung membentuk Badan Pangan.

Ini yang kita terus pertanyakan, dan DPR tidak bisa diam saja karena ini sudah mendekati masa akhir pemerintahan. Tidak ada Badan Pangan menyebabkan kita menghamburkan ratusan triliun rupiah tanpa hasil yang jelas terhadap keamanan pangan kita di masa depan," papar dia.

Dalam Pasal 126 UU Pangan disebutkan bahwa untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Sesuai amanat UU itu, Badan Pangan Nasional semestinya sudah dibentuk paling lambat akhir 2015 atau tiga tahun setelah UU Pangan disahkan. ahm/YK/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top