Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
CEMS

Monitor Emisi untuk Pantau Sebaran Konsentrasi Polusi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Pembangkit listrik yang ada di Jakarta dan sekitarnya terbukti tidak memberikan kontribusi besar bagi lingkungan, khususnya kondisi udara Jakarta. Sementara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU-berbahan bakar batubara) yang ada, yang telah dilengkapi continuous emission monitoring system (CEMS) yang berfungsi untuk memonitor emisi secara kontinyu, belum sepenuhnya mampu mengurangi pencemaran udara.

Pusat Penelitian Pengembangan PLN yang melakukan simulasi perkiraan sebaran konsentrasi emisi yang terdispersi ke atmosfer menyimpulkan bahwa PLTU yang berbahan batubara telah dilengkapi CEMS. Simulasi tersebut dituangkan dalam laporan berjudul Kajian Dampak Emisi Pembangkit yang Berpengaruh terhadap Kondisi Udara Jakarta, diterbitkan 7 Februari 2019.

Namun, simulasi tersebut disanggah Walhi bahwa emisi dari PLTU yang berbahan bakar batu bara itu menyumbang sekitar 20-30 persen polusi udara di Jakarta.

"Transportasi itu sekitar 30 sampai 40 persen, PLTU sekitar 20 sampai 30 persen, sisanya dari bakar sampah dan lain-lain, ada juga dari sumber lain," kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi di Jakarta, Selasa (16/7).

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017 setidaknya terdapat 10 PLTU berbahan bakar batu bara yang tercatat menyumbang polusi di Jakarta.

Mereka adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.

"Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW," ungkapnya.

Dwi memperkirakan jumlah itu akan bertambah lagi dalam beberapa waktu mendatang. Pasalnya, akan ada sejumlah PLTU baru yang akan dibangun.

Setidaknya ada empat PLTU berbahan bakar batu bara yang dalam tahap pembangunan hingga saat ini yaitu PLTU Asahimas Chemical unit 1-2 berkapasitas 300 MW, PLTU Jawa-7 berkapasitas 2.000 MW, PLTU Jawa-9 atau Banten Exp. berkapasitas 1.000 MW, serta PLTU Jawa-6 atau Muara Gembong berkapasitas 2.000 MW.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Wanhar, mengatakan, untuk mengestimasi sebaran emisi pembangkit digunakan persamaan model Gaussian, dengan mempertimbangkan kondisi meteorologi dan topografi daerah Jabodetabek.

"Pembangkit listrik eksisting yang menjadi objek kajian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang Blok, PLTGU Tanjung Priok, PLTGU Muara Tawar, PLTU Lontar, dan PLTU Suralaya Unit 8 PLN," ujarnya.

Dari hasil perhitungan dan modelling PM 2,5 didapatkan bahwa jika pencemaran udara didefinisikan sebagai konsentrasi yang tidak melebihi nilai target kualitas udara ambien, maka pada saat ini PLTU Indramayu memiliki jarak aman 3 km, PLTU Suralaya 1- 8 memiliki jarak aman 7 km dan PLTU Lontar memiliki jarak aman 1 kilometer dari Stack.

Aktivitas pengkajian itu dilakukan sebagai upaya pertama dalam tindakan pencegahan dampak emisi terhadap lingkungan sekitar dan manusia, serta seberapa jauh sebaran konsentrasi emisi dari titik penyebab.

Parameter gas emisi yang disimulasikan dalam kajian tersebut adalah parameter yang wajib dipantau sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 21 Tahun 2008 tentang baku mutu Emisi Sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan pembangkit tenaga listrik termal yaitu SO2, NOx2, total partikulat, dan opasitas. Namun selain itu, dalam kajian tersebut juga dilakukan analisis terhadap konsentrasi mercuri (Hg), karena dalam aturan baru yang sedang dirancang, kandungan itu akan dimasukkan sebagai parameter tambahan.

Gas buang atau emisi didefinisikan sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, gas alam dan minyak yang didispersikan ke udara, tergantung pada komposisi bahan bakar serta jenis dan ukuran boiler. Emisi merupakan salah penyumbang pencemaran udara yang dapat berdampak pada kesehatan manusia, dan lingkungan sekitar. gma/R-1

Dukung Target Penurunan Emisi GRK

Berdasarkan RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2019-2028, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Wanhar, memaparkan, kebijakan pengembangan ketenagalistrikan di Indonesia sangat memperhatikan kebijakan penurunan emisi dan Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. Kebijakan-kebijakan PLN untuk mendukung Target Penurunan Emisi itu sebagai berikut.

Pertama, dukungan melalui pengembangan EBT (PLTA/PLTM, PLT Biomassa dan PLTU Gas Buang Industri, B30, B100 dan PLB serta PV rooftop/PLTS Atap).

"Kedua, penggunaan teknologi rendah karbon seperti pembangkit USD, Fuel switching (pengalihan BBM ke Gas pada PLTG/GU/MG dan penggunaan campuran biofuel pada PLTD), serta upaya efisiensi pembangkit (CCGT, COgen, Classs H Gas Turbine)," ungkapnya.

Ketiga, mempromosikan penggunaan energy storage seperti bateray, pump storage dan powerbank.

"Keempat, mengubah kebiasaan penggunaan energi dari pembakaran individual ke jaringan listrik. Misalnya penggunaan mobil listrik, kompor listrik, kereta listrik, moda transportasi listrik (MRT) dan LRT," tambahnya.

Kelima, mempromosikan penggunaan peralatan listrik yang efisien. Dan keenam, penghijauan dengan target 1.000 pohon untuk setiap unit induk PLN. Sampai akhir 2018 lalu, tercatat ada 34.974 pohon yang sudah ditanam PLN. gma/R-1

Teknologi Rendah Karbon

Khusus untuk PLTU batubara, jelas Warhan, PLN juga menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi atau High Efficiency and Low Emmission (HELE), seperti Clean Coal Technology (Super Critical dan Ultra Super Critical).

"Dengan diterapkannya teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi pada pembangkit listrik tersebut, maka konsumsi bahan bakar fosil akan berkurang, sehingga berdampak mengurangi efek gas rumah kaca, emisi gas buang dan pencemaran lingkungan hidup," ujarnya.

Tak hanya diterapkan bagi PLN, kegiatan pembangkit listrik milik swasta juga dikenai tuntutan untuk menurunkan emisi non GRK. "Kepada mereka, pemerintah menerapkan ketentuan untuk pemasangan teknologi pengendalian pencemaran udara (PPU). Beberapa unit pembangkit swasta telah memasang Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk menurunkan kandungan sulfur pada gas buang dan hampir semua PLTU telah dilengkapi Low NOx Burner," jelasnya.

RUPTL PT PLN (Persero) tahun 2019 - 2028 menargetkan penerapan bauran energi pembangkit listrik dengan komposisi batubara 54,4 persen, EBT 23,2 persen, gas alam 22 persen, dan BBM 0,4 persen.

Melalui penerapan bauran 23 persen EBT, jelas Wanhar, Pemerintah telah menargetkan penurunan emisi sebesar 137 juta ton CO2, yang berarti penurunan 28 persen dari skenario tanpa EBT yang bisa mencapai 488 juta ton CO2 pada 2028.

Khusus untuk penggunaan Clean Coal Technology pada PLTU Batubara (Supercritical), Ditjen Ketenagalistrikan menghitung pada 2017 telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 0,69 juta ton CO2.

Pada 2019 ini, diproyeksikan faktor emisi pembangkit di Indonesia bisa turun pada level 0,807 ton CO2/MWh. Angka itu diusahakan akan terus menurun hingga pada 2028 bisa menjadi 0,702 ton CO2/MWH. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top