Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Model Omnibus dalam Pencegahan Korupsi

Foto : ISTIMEWA

Romli Atmasasmita - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

A   A   A   Pengaturan Font

Saat ini, pemerintah, DPR RI, dan juga para ahli hukum dan ekonomi tengah hangat membicarakan "hukum omnibus", yang merupakan payung hukum (umbrella act) dalam 76 kegiatan sektoral, baik kementerian/lembaga. Di dalam UU No 11 Tahun 2020 Omnibus (Cipta Lapangan Kerja/CK) telah menutup celah suap dalam proses perizinan berusaha di mana proses perizinan yang semula bersifat sektoral, meliputi 76 undang-undang sektoral; telah diubah dengan bersifat multisektoral yang terpusat pada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Di dalam UU CK 2020 Kebijakan Ekonomi Nasional bertujuan meningkatkan pertumbuhan yang bebas dari suap dan korupsi dan untuk tujuan tersebut telah digunakan strategi yang bersifat preemptif dan preventip diperkuat dengan ketentuan sanksi administratif. Selain penguatan dengan ketentuan sanksi tersebut, juga dimasukkan pertimbangan efisiensi dengan pendekatan cost and benefit didukung oleh One Single Submission (OSS) berbasis digital.

Pendekatan represif terhadap ekses negatif dalam proses perizinan selama ini tidak cukup efisien dan efektif untuk menghentikan perbuatan karena telah terbukti adanya hukum permintaan dan penawaran; dan bahkan telah mengakibatkan kerugian yang lebih besar diukur dari aspek waktu, biaya dan prasarana, dan sarana penegakan hukum. Diperlukan suatu Lembaga khusus agar tercapai efisiensi untuk implementasi UU Cipta Kerja 2020 yang bebas suap dan korupsi, disebut UU Omnibus Pemberantasan Korupsi dan Suap(UUPKS).

"Complaint Agency"

UU ini merupakan kodifikasi sekaligus payung hukum bagi aparatur Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK dan memuat 4 (empat) aspek hukum, yaitu hukum pidana, hukum administratif, hukum perseroan terbatas, hukum kontrak dan hukum keuangan negara. UU Omnibus diperkuat oleh sebuah Lembaga Pengaduan (Complaint Agency) yang bertugas menerima laporan pengaduan masyarakat khusus pihak swasta mengenai hambatan-hambatan prosedur yang dihadapi dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja tahun 2020.

Penghukuman dalam konteks UU Omnibus Pemberantasan Korupsi merupakan upaya atau sarana terakhir jauh sebelum dilaksanakan penghukuman; dan lembaga dimaksud yang terdiri dari unsur KPK, Kepolisian, Kejaksaan yang terpilih didampingi ahli; diberikan wewenang menghentikan penuntutan perkara secara bersyarat terhadap korporasi atau perorangan yang terlibat kasus suap dan korupsi. Contoh, di AS, Inggris, dan Prancis, telah melaksanakan pola pemberantasan korupsi tersebut.

Pengalaman menunjukkan bahwa penghukuman kasus suap yang telah memasukkan lebih dari 100 penyelenggara negara ke penjara tidak berhasil mengurangi jumlah pelanggaran hukum dalam proses perizinan hanya karena sejumlah penyelenggara negara telah menjadi "pemburu rente" (rent-seeker) sehingga terjadi "trade-off" antara antara perbuatan tercela yang dikenal sebagai "rent-seeker" di kalangan penyelenggaran negara yang mencerminkan pola "trade-off" antara equity dan equality antara regulator dan konsumen.

Barter jabatan dan pendanaan merupakan "business as usual" yang sangat merugikan nama baik bangsa ini sejak 30 (tiga puluh) tahun yang lampau. Kasus suap oleh korporasi asing di Indonesia telah terjadi sekalipun UU Tipikor telah diubah dan ditambah sanksinya juga pascapembentukan KPK. Contoh, kasus Monsanto, Innospec, dan Boeing terkait korporasi asing yang berinvestasi di Indonesia di mana pelakunya adalah korporasi asing tetap tidak terjangkau UU Tipikor yang berlaku di sini, tetapi mandul di negara-negara lain, hanya disebabkan di sana telah digunakan politik hukum pidana berbeda dengan di sini.

Ketimpangan perlakuan hukum terhadap pelaku korporasi domestik dan asing sangat kentara di mana korporasi minyak asing seperti pengemplang pajak triliunan rupiah lepas dari penghukuman, tetapi korporasi domestik dan personel pengendalinya masuk penjara.

Dari sisi hukum internasional, negara maju (AS, Inggris, Prancis, dan Jepang) termasuk Indonesia, negara yang telah meratifikasi dua instrumen internasional yaitu konvensi internasional tentang perdagangan internasional dan dilengkapi konvensi anti korupsi (UNCAC 2003), dan konvensi negara maju untuk pencegahan suap (OECD Convention Againt Bribery of Foreign Public Officials in Internasional Business Transaction) 1997, efektif 1999.

Namun di dalam implementasinya terdapat perlakuan yang berbeda di antara negara-negara tersebut dengan di Indonesia. Perbedaan perlakuan hukum di negara-negara maju tersebut disebabkan telah memberlakukan undang-undang nasional yang memberikan "pengampunan" (clemency) melalui produk hukum yang disebut Deferred Prosecution Agreement (di AS, Inggris, dan Prancis), yaitu produk hukum yang memberikan kesempatan untuk memperoleh "pengampunan" bersyarat kepada korporasi mereka yang telah mengakui memberikan suap untuk melancarkan jaringan aktivitas bisnis di negara lain terutama di negara berkembang.

Korporasi yang bersangkutan wajib diaudit oleh oleh auditor independen yang ditunjuk Kementerian Kehakiman (Kejaksaan Agung) dan wajib menaati rekomendasi auditor independen, dan membayar denda penalti yang ditentukan Kementerian tersebut.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top