Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan Industri

Mikroalga Potensial Jadi Bahan Baku Pangan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Potensi pemanfaatan alga, baik makroalga maupun mikroalga, di Indonesia sangat besar untuk menghasilkan berbagai produk bernilai tambah tinggi. Salah satu potensial mikroalga yang dapat diolah menjadi berbagai bahan baku pangan, obat-obatan, pakan ternak, hingga biofuel.

Pengembangan industri pengolahan mikroalga sebagai sumber daya alam (SDA) menjadi bagian dari kebijakan prioritas Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yaitu hilirisasi industri berbasis agro. Di samping itu, pemanfaatan bioteknologi untuk mewujudkan konsep keberlanjutan perlu diadaptasi oleh industri guna menyelaraskan pembangunannya dengan kelestarian lingkungan.

"Mikroalga sangat prospektif untuk dikembangkan di indonesia karena didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai," jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat melakukan kunjungan ke PT Evergen Resources, Jumat (28/6).

Keunggulan yang dimiliki Indonesia untuk pengembangan mikroalga meliputi banyaknya sinar matahari dan suhu yang hangat serta lahan cukup. Mikroalga juga menyerap CO2 sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam pengelolaan emisi.

Salah satu upaya pengembangan bioteknologi mikroalga di Indonesia telah diinisiasi oleh perusahaan PT Evergen Resources. Perusahaan yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah ini mengolah mikroalga Haematococcus pluvialis yang dapat menghasilkan astaxanthin.

Evergen melakukan kultivasi mikroalga dengan sistem photobioreaktor tertutup untuk memproduksi AstaLuxe. Produk ini memiliki antioksidan tinggi yang diaplikasikan pada produk suplemen kesehatan, obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman, hingga produk pakan ternak.

Lebih lanjut, astaxanthin memiliki potensi dengan penggerak pasar antara lain, peningkatan jumlah konsumen dengan kesadaran akan kesehatan yang menginginkan produk antisoksidan alami.

Meski demikian, tantangan dalam pengembangan astaxanthin juga masih cukup besar. Misalnya biaya produksi serta riset dan pengembangan (R&D) yang tinggi sehingga menyebabkan terbatasnya daya beli konsumen dan perluasan pasar.

Selanjutnya, pengembangan astaxanthin rentan terkontaminasi dalam produksinya sehingga membutuhkan kontrol kualitas berlapis, serta pasar yang cukup kompetitif dengan pemain kunci perusahaan dari negara dengan teknologi maju.

Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika menambahkan, PT Evergen Resources memulai produksi astaxanthin dari nol sejak 2012. Pasar astaxanthin terus berkembang, dengan pasar terbesar masih terdapat di Amerika Utara dan Eropa.

Di Indonesia, belum ada kompetitor untuk industri penghasil astaxanthin, dan produsennya juga kurang dari 10 perusahaan di dunia.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top