Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Resesi I Industri Pengolahan Perlu Banyak Terobosan

Mesti Perkuat Manufaktur untuk Jaga Pertumbuhan

Foto : Sumber: BKPM – Litbang KJ/and

Investasi yang dimaksud adalah Penanaman Modal Asing (PMA) + Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai Indonesia mesti memperkuat kembali kinerja industri pengolahan atau manufaktur guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah-tengah ancaman perlambatan dan resesi global.

Oleh karena itu, investasi di industri yang bernilai tambah tinggi tersebut perlu digenjot melalui serangkaian upaya meningkatkan daya saing. Inovasi melalui pemanfaatan teknologi dan efisiensi proses produksi akan menjadi kunci bagi penguatan daya saing industri manufaktur di dalam negeri.

Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mengungkapkan kinerja sektor manufaktur nasional memang merosot lebih dari satu dekade terakhir beriringan dengan menyusutnya realisasi investasi di sektor tersebut.

"Kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan lapangan kerja terus menurun. Padahal, Indonesia memiliki daya tarik yakni pasar yang besar dan bahan baku alam yang berlimpah," papar dia, ketika dihubungi, Jumat (30/8).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada 2018, sektor manufaktur berkontribusi 19,82 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun sebelumnya, industri itu menyumbang 21,22 persen dari PDB.

Menurut Gunadi, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok semestinya dijadikan momentum untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur di Tanah Air, terutama yang berorientasi ekspor, subtitusi impor, serta ketahanan energi dan pangan.

Sayangnya, lanjut dia, negara terlalu lama membiarkan variabel penting investasi terperosok. Contohnya, Ease of Doing Business (EoDB) yang pada 2019 masih berada di peringkat 73, kalah oleh Vietnam (di urutan 69), dan ditinggalkan jauh oleh Thailand yang berada di peringkat 27.

"Dari segi upah minimum Indonesia masih bisa bersaing dengan Thailand, tapi sangat berat untuk bersaing dengan Vietnam," kata Gunadi.

Ekonom Universitas Indonesia, Lana Sulistyaningsih, menilai sektor industri manufaktur perlu memperbanyak terobosan di tengah-tengah persaingan dengan pelaku usaha di kawasan Asia yang semakin ketat. "Kalau mau inovasi, ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan," jelas dia, belum lama ini.

Terkait dengan penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, Lana menekankan yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat. "Jadi bukan pada persentase kontribusi terhadap PDB saja yang perlu diwaspadai."

Menurut dia, banyak hal yang membuat daya saing industri nasional tidak solid. Masalah terbesar, bukan berasal dari pelaku usahanya, namun lingkungan bisnis yang menciptakan biaya tinggi.

"Beberapa faktor yang membuat biaya produksi mahal adalah aspek non-teknis seperti pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Biaya itu bisa mencapai 10 persen dari biaya produksi," tukas Lana.

Momentum Pertumbuhan

Sementara itu, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memandang Indonesia memiliki peluang dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke depan sambil menjaga stabilitas keuangan. Salah satu kebijakan yang diperlukan adalah bagaimana mendorong sektor manufaktur.

"Banyak sektor yang bisa kita dorong, apakah otomotif, garmen, elektronik, makanan dan minuman, maupun hilirisasi sumber daya yang ada di Indonesia," kata Ketua Umum ISEI sekaligus Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, di Badung, Bali, Rabu (28/8).

Menurut dia, peluang-peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini berada di kisaran 5 persen.

Selain itu, lanjut Perry, Indonesia perlu mendorong pendalaman pasar keuangan lebih lanjut. Penanaman modal asing (PMA) harus diarahkan ke pembiayaan sektor-sektor yang dijadikan prioritas tersebut.

"Dalam jangka panjang, Indonesia akan semakin tahan, tidak tergantung pada arus investasi portofolio," sebut Perry.

Dia menambahkan, dengan mendorong kinerja industri pengolahan maka Indonesia tidak menumpukan pertumbuhan ekonomi pada komoditas. Dengan demikian, struktur pertumbuhan ekonomi akan lebih sehat dan kuat.YK/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top