Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Merawat Profesi Guru

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Nurul Yaqin, S.Pd.I

Beredarnya video pengeroyokan salah seorang guru oleh beberapa siswa di SMK NU 03 Kaliwungu, Kendal, Jateng, pada 8 November 2018 lalu sempat viral di media sosial. Dalam video berdurasi 24 detik tersebut beberapa murid menendang dan mengepung guru paruh baya (Joko Susilo). Guru pun membalas tendangan para murid, sehingga salah satu sepatunya lepas. Video pendek itu diakhiri dengan gelak tawa para murid kepada sang guru. Siapa pun, pasti mengelus dada menyaksikan video itu.

Spontan kepala sekolah yang bersangkutan mengklarifikasi bahwa kejadian dalam video itu hanya candaan belaka. Bupati Kendal Mirna Annisa pun ikut turun tangan memastikan insiden ini. Bupati sempat menginterogasi para murid yang terlibat dalam video tersebut. Dia mengancam akan menyerahkan kepada polisi murid yang bertindak amoral.

Terlepas hanya guyonan, banyak pihak sangat menyayangkan kejadian tersebut karena telah menabrak batas kewajaran. Ini merupakan indikasi darurat karakter dan semakin menguatkan stereotipe, profesi guru semakin terkikis. Jika diabaikan, bukan tidak mungkin pendidikan moral tenggelam.

Memang, dalam era modern pendidikan hanya dipandang sebagai transfer knowledge dan skill dari guru kepada murid. Tujuannya, agar anak didik berprestasi dalam ajang perlombaan dan olimpiade serta bisa diterima di sekolah bonafit. Padahal, ada dimensi lain yang jauh lebih penting seperti moral.

Meskipun zaman sudah berevolusi, melesat sangat cepat berbasis internet dan teknologi, tak ada yang dapat menggantikan perananan moral. Tanpa moral, bangsa ini tinggal menunggu ambang kehancuran. Tak bisa dibayangkan, seluruh aspek kehidupan dari teknologi, ekonomi, budaya, politik, dan pemerintahan tak ada lagi nilai moral.

Dalam aspek pendidikan, moral juga menempati posisi paling tinggi. Ini khususnya moral anak didik kepada guru atau mereka lebih tua.
Krisis moral yang melanda negeri ini khususnya bidang pendidikan, melahirkan kasus-kasus beragam yang cukup menjadi bumerang tercapainya pendidikan ideal. Ini dari kekerasan guru terhadap murid, siswa terhadap guru, murid terhadap murid, bahkan wali murid terhadap guru menjadi hiasan media yang tak kunjung usai.

Namun yang harus menjadi perhatian, pudarnya moral di kalangan anak didik bukan tanpa sebab. Mereka adalah korban dari pengaruh lingkungan sekitar, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sekolah dan guru menjadi salah satu benteng yang paling diharapkan perannya untuk membentuk moral generasi muda. Guru mempunyai amanah besar untuk meluruskan moral agar tidak menyimpang dari koridor kebenaran, terlebih di zaman yang tak bersekat seperti sekarang.

Mirisnya, realita yang terjadi berbanding terbalik dengan tuntutan yang seharusnya. Guru yang menjadi tumpuan pertahanan moral acap kali terlibat dalam kasus-kasus yang menyimpang dari profesi keguruannya. Akibatnya, marwah guru semakin tak bermakna di mata siswa. Inilah akar masalah yang menyebabkan murid tidak lagi menghargai guru.

Menurut Mulyasa (2015: 23), kesalahan guru yang utama belum atau tidak bisa memberikan bekal dasar optimal kepada peserta didik baik dalam sikap spiritual, sosial, pengetahuan, maupun keterampilan. Hal tersebut tentunya perlu diperbaiki. Guru harus berbenah, memperbaiki diri, dan meningkatkan profesionalitasnya secara berkelanjutan.

Dalam acara memperingati Hari Pendidikan Nasional 2018 lalu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebutkan bahwa dalam tri semester pertama tahun 2018 pengaduan terkait kekerasan fisik terhadap anak mencapai 72 persen. Kemudian, kekerasan psikis 9 persen, finansial 4 persen, dan seksual 2 persen. Sedang kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap anak didik mencapai 13 persen. Jika demikan, ini akan mereduksi kredibilitas seorang guru yang seharusnya menjadi panutan.

Karakter Guru

Sederhananya, mayoritas guru masih belum tuntas di ranah karakter. Padahal, karakter adalah tolok ukur utama keberhasilan pendidikan. Pertanyaanya, jika guru saja tidak memiliki karakter, dapatkah mendidik anak menjadi berkarakter? Tentu, tidak bisa memberi jika tidak memiliki. Maka tak salah tatkala ada yang berpendapat, tidak ada anak nakal dan bodoh. Yang ada hanya guru yang belum bisa mengerti dan menyelami karakter murid (discovering ability).

Maka, guru sejak zaman Orde Baru sampai sekarang bukan lagi seperti dilukiskan Earl V Pullias dan James D Young dalam bukunya "A Teacher is Many Things. Intinya, guru sebagai sosok makhluk serbabisa dan memiliki kewibawaan tinggi di hadapan murid maupun masyarakat. Tapi guru sekarang lebih tepat sebagai sosok mimikri. Dia harus pandai-pandai menyesuaikan diri dalam berbagai situasi (Darmaningtyas: 2015: 144)

Oleh kaena itu, interaksi antara guru dan murid harus memiliki chemistry. Keduanya mesti saling terikat demi kesuksesan pengajaran dan pendidikan. Ini dalam artian, ketika murid dituntut menghormati guru secara optimal, guru pun demikian, juga respek ke siswa. Ada tanggung jawab besar yang juga harus dipenuhi guru sebagai sosok yang selalu digugu dan ditiru. Ini mulai dari cara mengajar, memecahkan masalah, dan bergaul. Guru dan murid memiliki ikatan batin yang saling bertautan.

Selain itu, komunikasi antara guru dan murid harus harmonis baik di dunia nyata maupun maya. Maksudnya, berkomunikasi dengan anak usia Sekolah Dasar pasti berbeda dengan usia Sekolah Menengah. Ini membutuhkan kejelian guru untuk menyelami karakter anak sesuai tahap perkembangannya. Sangat tidak efektif, jika interaksi kepada anak SMP menggunakan metode komunikasi ala anak SD dan sebaliknya. Kepekaan guru terhadap anak didik menjadikannya lebih dihargai.

Namun, yang paling penting dari itu semua adalah keteladanan. Contoh hidup guru adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar. Sebelum mengajarkan pentingnya pendidikan karakter, guru harus sudah memiliki karakter yang baik. Karena anak didik akan melihat yang dilakukan gurunya, kemudian meniru. Children see, children do. Dengan karakter yang baik, guru bisa menjaga marwahnya di depan para murid, sehigga berkharismatik.

Penulis Guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi.

Komentar

Komentar
()

Top