Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perlindungan Perempuan

Menteri PPPA: Hilangkan Stigma Korban Kekerasan Seksual

Foto : Istimewa

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga, dalam acara Media Gathering, di Kabupaten Bogor, Rabu (1/2).

A   A   A   Pengaturan Font

BOGOR - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga meminta masyarakat tidak memberi stigma bagi korban kekerasan seksual. Edukasi harus terus diberikan agar korban terlindungi dan mendapat dukungan dalam melanjutkan aktivitasnya.

"Harapan saya jangan ada stigma, tidak hanya di perkotaan, di daerah terpencil pun masyarakat sudah mulai teredukasi bahwa kita harus melindungi korban, karena korban adalah keluarga kita juga," ujar Bintang, usai acara Media Gathering, di Kabupaten Bogor, Rabu (1/2).

Dia mengatakan, stigma juga jangan diberikan kepada keluarga korban. Menurutnya, tanpa ada lagi stigma membuat korban kekerasan seksual lain terdorong untuk bicara dan melaporkan kasusnya. "Ketika korban sudah berani bicara, kemudian ketika kasus ini terungkap penanganan kasusnya sudah tidak memberikan stigma lagi kepada korban dan keluarga korban," jelasnya.

Bintang mengungkapkan, sudah banyak praktik baik yang dilakukan di berbagai daerah dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Di Sidoarjo, anak korban kekerasan tetap terpenuhi hak pendidikannya.

Selain itu, keluarga korban juga tetap memilih tinggal di daerah tersebut. Hal ini karena lingkungan tempat tinggal mereka memberikan dukungan. "Si korban ini tetap bisa sekolah. Itu sekolahnya sudah dengan daring supaya menjaga juga perasaanya. Kemudian tidak memberikan stigma lagi kepada korban, tidak memberikan stigma lagi kepada keluarga korban, ini sudah terjadi ke depan ini," katanya.

Dia berkomitmen, menghadirkan penanganan kasus kekerasan seksual yang terintegrasi. Dia berharap pimpinan daerah juga memberi edukasi kepada masyarakat untuk melindungi korban. "Kalau dulu kan, dia sudah korban, tidak boleh pulang ke kampungnya karena dianggap membawa aib. Nah ini itu saya melihat sudah tidak ada lagi. Itu harus kita berikan pendampingan yang terbaik," tandasnya.

Sementara itu, Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, menekankan penanganan terhadap anak korban pernikahan anak harus jadi perhatian semua pihak. Menurutnya, hak-hak anak seperti kesehatan dan pendidikan harus tetap terpenuhi agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.

"Penanganganan seperti apa agar tidak terjadi loss generation. Hak-haknya masih harus terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan. Lifeskill harus tetap dilatih," ujar Rini di Kabupaten Bogor, Rabu.

Dia mengatakan, Badan Peradilan Agama (Badilag) mengeluarkan 50 ribu dispensasi nikah selama tahun 2022 dari total 52 ribu pengajuan. Alasan pengajuan tidak hanya hamil, tapi karena faktor cinta, ekonomi, dan lain sebagainya. "Selama 2022, dari 52 ribu yang mengajukan diputuskan 50 ribu. Itu diperbolehkan menikah," jelasnya.

Rini mengungkapkan, pihaknya berkomitmen terus memperkuat pencegahan perkawinan anak. Salah satunya melalui penyertaan rekomendasi dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dinas Kesehatan.

Dia menambahkan, penguatan pencegahan perlu juga dilakukan di tingkat daerah. Beberapa praktik baik yang sudah dilakukan seperti MoU Bupati Wajo dengan tokoh-tokoh adat serta MoU antara desa di Gunung Kidul terkait pencegahan pernikahan anak. "Jadi sanksinya sosial. Kalau ada perkawinan anak, kepala desa tidak mau hadir. Menteri PPPA dengan Menteri Desa sepakat pencegahan dari desa," tandasnya.

Secara terpisah, Dewan pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Emil Salim, mengungkapkan upaya mencapai Indonesia Emas tahun 2045 sulit dicapai jika usia anak sudah menikah. Menurutnya, bangsa yang berkualitas dapat tercapai dengan anak-anak yang harus menempuh pendidikan tinggi.

Dia menyarankan, non-diskiriminasi perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan harus dihapuskan. Di lain pihak, penghulu harus diinformasikan kalau anak-anak di bawah 19 tahun tidak boleh menikah. "Perkawinan adalah membentuk satuan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Jika keluarga tidak terdidik maka masyarakat jadi tidak terdidik," katanya.

Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu, mengatakan tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 dimana usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top