Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Jakarta City Philharmonic

Menjaga Keseimbangan dalam Lingkaran Keabadian

Foto : foto-foto: dok.bekraf
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta City Philharmonic (JCP), sebuah orkestra kota yang digagas oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan konser regulernya di awal 2018 ini, tepatnya pada Rabu (18/4) di Gedung Djakarta Theater.

Pada konser perdananya ini, JCP mengusung tema Lingkaran Keabadian. Tema tersebut diangkat untuk menanggapi kondisi dunia yang semakin tidak menentu. JCP berusaha untuk tetap menjaga keseimbangan yang ada di masyarakat dengan menyediakan ruang refleksi melalui musik.

"Kalau tahun lalu mengacu ke arah geografis, sekarang lebih ke tema sebetulnya. Seperti musik itu berbicara tentang apa, sehingga musik yang dipilih masih tetap berhubungan dengan tema tersebut," ujar Budi Utomo Prabowo selaku Konduktor Utama dari Jakarta City Philharmonic.

Dalam konser ini, JCP akan membawakan karya komposer Indonesia Jenny Rompas yang berjudul 0, Variations and Fugue for Orchestra on a Theme by Mozart Op. 132 oleh Max Reger, Simfoni No.5 dalam E minor Op. 64 milik Pyotr Ilyich Tchaikovsky, dan satu karya tambahan dari Johann Sebastian Bach berjudul Suita Orkestra No. 3 dalam D Mayor BWV 1068. Karya Bach tersebut dimainkan dalam rangka mengenang Suka Hardjana, seorang pengamat musik yang meninggal awal April lalu.

Konser merupakan kali ketiga diadakan. Dua tahun sebelumnya, konser JCP diadakan di Gedung Kesenian Jakarta dan mendapat respon yang baik dari masyarakat. Dikarenakan membludaknya penonton yang menonton pada tahun berikutnya, akhirnya lokasi pertunjukan pun dipindahkan di Gedung Teater Jakarta karena dapat menampung lebih banyak penonton.

"Kami mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat. Dari awalnya hanya 250 penonton, sekarang mencapai 1.200 penonton bahkan lebih," ujar Aksan Sjuman Komisaris Jakarta City Philharmonic. Pertunjukan ini akan rutin diselenggarakan setiap bulannya selama 2018 dengan delapan kali pertunjukan.

Menjadi Destinasi Wisata Musik

JCP yang pertama kali diadakan pada November 2016, mendapat sambutan hangat dari kalangan pecinta musik orkestra klasik di Jakarta pada penampilan perdananya di tahun ini pekan lalu.

Grup orkestra kota yang merupakan kerja sama antara DKJ dan Bekraf dibentuk sebagai salah satu tujuan destinasi wisata musik yang ada di Jakarta. "Kenapa di kota besar seperti Jakarta ini tidak ada destinasi wisata musik khususnya Philharmonic orkestra," kata Sappe Sirait selaku Direktur Pemasaran Dalam Negeri Bekraf di acara press conference Jakarta City Philharmonic edisi XI.

Pembentukan program ini merupakan gagasan dari komite musik DKJ seperti Anto Hoed, Anusirwan, dan Otto Sidharta yang berpikir bahwa Jakarta harus memiliki Philharmonic Orchestra seperti kota-kota lainnya di dunia.

"Sudah selayaknya Jakarta punya acara rutin seperti orkestra untuk membudayakan masyarakatnya," kata Aksan Sjuman.

Selain itu, ia ingin programnya ini dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Karena pada dasarnya, musik untuk semua kalangan. Namun sayangnya, masih banyak yang belum dapat merasakan musik klasik karena umumnya pertunjukan itu mahal dan hanya bisa dinikmati oleh kaum elit.

"Padahal sebenarnya bangsa Indonesia ini rasa keingintahuannya sangat kuat mengenai musik klasik, tapi kesempatan untuk mengaksesnya terbatas," tambahnya.

Berkat dukungan dari Bekraf selama dua tahun terakhir pun, pertunjukan JCP dapat disaksikan oleh masyarakat Jakarta tanpa pungutan biaya.

Sappe menjelaskan bahwa ini merupakan komitmen dari Bekraf untuk mendukung dan meningkatkan destinasi wisata musik khususnya di daerah Jakarta. Namun, bukan berarti Bekraf akan terus menerus mendanai program ini. Dengan kerja sama yang dilakukan ini, Bekraf mengharapkan bisa menjadi jalan peluang untuk Jakarta City Philharmonic mendapatkan sponsor dan mampu berdiri sendiri tanpa sokongan Bekraf.

"Jadi ke depannya ini kami sedang berpikir bagaimana ekosistem ini akan berjalan dengan sendirinya, jadi inilah kreativitas teman-teman DKJ," kata Sappe.

Ia menambahkan agar masyarakat tidak menutup mata mengenai perkembangan musik di Indonesia, khususnya perkembangan musik orkestra. Karena menurutnya, memiliki destinasi wisata musik orkestra bukanlah hanya tugas pemerintah semata, namun juga tugas masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta yang tinggal di dalamnya.

"Karena Philharmonic adalah istilah simfoni yang dilahirkan dari warga kota, dan kami, DKJ mewakili warga kota yang ingin punya orkestra," tambah Totot Indrarto, Komisaris JCP.gma/R-1

Terbentur Masalah Pendanaan

Seluruh dunia tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Dari Sabang hingga Merauke mempunyai ciri khas dan adat istiadat masing-masing yang membedakannya dengan suku lain. Namun, di era yang semakin modern, perlahan budaya-budaya lokal mulai banyak ditinggalkan.

Generasi muda Indonesia lebih menyukai sesuatu yang kebarat-baratan, ketimbang apa yang dimiliki bangsa sendiri. Dengan banyaknya keanekaragamannya itu, akses untuk masyarakat Indonesia sendiri menikmati hal tersebut masih terbatas. DKJ sebagai lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman Jakarta dan bergerak guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di Jakarta mengatakan bahwa sudah memiliki program mengenai festival musik tradisional yang akan menampilkan dan mengenalkan bermacam musik tradisional Indonesia. Namun, masalah utamanya adalah pendanaan.

"Kami sudah mengajukan ke Bekraf, namun Bekraf kan memiliki banyak program lainnya tidak hanya Jakarta City Philharmonic saja," kata Aksan Sjuman.

Ia mengaku, untuk membuat program seperti itu pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit di mana ia harus merangkul Dewan Kesenian daerah lainnya, agar bisa menjadi satu kesatuan. Selain itu, umumnya satu daerah dengan daerah lainnya saling memiliki kesinambungan, sehingga sulit rasanya jika akan menampilkan satu tradisi dari satu daerah saja. "Sebenarnya masalah di Indonesia itu adalah masalah funding (pendanaan). Kritiknya, orang-orang tidak suka berpikir kalau generasi setelahnya itu memerlukan asupan kesenian," tutur Aksan.

Ia berpandangan bahwa seluruh masyarakat harus turut serta dalam melakukan pelestarian budaya khususnya kesenian lokal yang makin ditinggalkan.gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top