Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menjaga Budaya dengan Visual

Foto : KORAN JAKARTA/Dini Daniswari
A   A   A   Pengaturan Font

Kekayaan budaya Tanah Air harus dijaga agat tidak tergerus budaya asing. Melalui bentuk visual, terutama mural, komunitas visualworkerindonesia berupaya melestarikan budaya Tanah Air dengan menampilkan visual pada sejumlah dinding.

Dinding tidak sekadar pembatas ruang dalam dan ruang luar. Bagi visualworkerindonesia, dinding merupaan media penyampai pesan. Melalui dinding, gambar-gambar sebagai karya seni bisa ditorehkan. Mural ini dinikmati secara sengaja maupun tidak oleh orang-orang yang lalu lalang di sepanjang dinding.

Melalui dinding juga, mereka ingin mengingatkan kekayaan yang dimiliki negeri ini. Budaya dalam negeri yang makin tergerus arus global perlu ditampilkan dalam ruang publik supaya ideologi bangsa tidak luntur.

"Kita ada kesadaran supaya visual Indonesia tidak hilang," ujar Dae Buton, ketua komunitas Visualworkerindonesia tentang style gambar yang mengangkat budaya Tanah Air ketika ditemui di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Rabu (16/8). Pasalnya saat ini, bentuk-bentuk visual lebih banyak mengadopsi visual yang berasal dari luar, seperti bentuk tengkorak-tengkorak.

Dae memahami bahwa dia berhadapan dengan generasi muda yang muda mengadopsi segala hal dari luar. Untuk itu, dia menampilkan visual yang bertema budaya dalam goresanpop artyang penuh keceriaan. Bagi dia,stylegambar tersebut mampu mewakili selera anak muda. "Enggak menghilangkan nilai budaya, karena perubahan hanya di warna tapi bentuknya tetap sama," ujar dia.

Obyek lukisan biasanya berupa rumah adat maupun pakaian adat. Mereka pernah membuat mural dalam bidang seluas 10 x 10 meter.

Dae memendam keinginan untuk membuat mural di kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat strategis, seperti jalan protokol yang menjadi lalu lalang orang. "Kalau temanya Nusantara, orang kan jadi diingatkan kembali," ujar laki-laki lulusan Institut Kesenian Jakarta, Jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Lukis.

Sebagai seorang seniman, ia cukup bangga karena masyarakat mulai memberikan perhatian terhadap seni meskipun masih di kota besar Terlihat, dengan makin banyaknya permintaan pembuatan mural di ruang publik maupun rumah pribadi.

Umumnya, mereka lebih memilih mural dalam bentuk gambar dibandingkan tulisan. Karena, gambar dianggap lebih menarik ketimbang tulisan yang membutuhkan waktu sejenak untuk mencerna maknanya.

Melalui Visualworkerindonesia, dia berupaya memberikan wadah untuk anak mudah yang memiliki latar belakang seni di bidang lukis untuk bergabung bersamanya komunitasnya.Dia tidak menampik bahwa terkait penghasilan, seniman kerap dianggap sebelah mata.

"Buat saya, segala hal yang dikerjakan dengan hati semua sudah ada yang mengatur," ujar dia. Visualworkerindonesia berdiri pada 2011.

Saat ini, ada tiga anggota inti dalam komunitas tersebut. Sisanya merupakan additional yang membantu setiap ada pengerjaan membuat mural. Umumnya, mereka belum mengeksekusi atau membuat gambar. Biasaya mereka mencampur cat akrilik satu dengan lainnya yang diperlukan untuk pembuatan mural. din/E-6

Subyektifitas Visual

Gambar Sayuti Melik tengah mengetik naskah proklamasi menjadi gambar yang mendominasi di salah satu sisi gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta. Di belakangannya, tampak potongan-potongan gambar sejumlah pahlawan kemerdekaan.

Bagian bawahnya, ada gambar raga budaya. Sementara di sisi yang lain, tampak tergores naskah proklamasi.‎Pewarnaan pop art menjadikan visual tersebut terasa lebih kini.

Jika visual bagian atas dibiarkan tampil lebih berwarna, bagian bawahnya ditampilkan lebih monokromatik dalam pewarnaan hitam dan coklat muda. "Sengaja dikombinasikansih, untuk harmonisasi warna saja," ujar Dae Buton, ketua komunitas tentang selera yang lebih bersifat subyektifitas tersebut.

Pihak museum menunjuk komunitas Visualworkerindonesia karena memilikistyle mengangkat budaya bangsa. Mural dibuat sesuai dengan permintaan museum yang menginginkan visual bertemakan proklamasi.

"Kami memilih tema Kebinekaan yang dikaitkan dengan Proklamasi," ujar dia. Lalu, laki-laki yang mulai bercita-cita sebagai pelukis setelah mendapatkan kejuaraan ketika lomba menggambar di masa sekolah dasar tersebut mengangkat Sayuti Melik yang tengah mengetik sebagai gambar utama.

Dari mural tersebut, pesan yang ingin disampaikan adalah awal mula bangsa berasal dari ketika tersebut.‎Itula kekuatan sebuah mural, visualnya dapat memberikan arti dalam sebuah ruang maupun bangunan. Dalam mural sepanjang 2 x 2 meter yang tergores di halaman belakang museum, komunitas ingin mengingatkan untuk tidak melupakan perjuangan bangsa.

Dalam melukis mural, komunitas tidak sepenuhnya dapat menuangkan segala subyektifitas dalam karya. Saat ada pihak yang meminta untuk menggambarkan obyek, adakalanya mereka harus mengikuti permintaan klien. Jika sudah begitu, mereka tidak memiliki pilihan lainnya.

Di sisi lain, adakalanya saat memenuhi permintaan menggambar, ada pemesanan yang ingin menggunakan style menggambar komunitas, yaitu pop art. Seperti rumah tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat, pemiliknya menginginkan gambar perjamuan makan menggunakan pewarnaan pop art. din/E-6

Ketika Gambar Menyimpan Makna

Berangkat dari hobi masa kecil, dua anggota visualworkerindonesia terus bergarak untuk membuat lukisan, salah satunya mural. Karena pada akhirnya, lukisan tidak sekadar menggoreskan kuas namun lukisan mampu membawa pesan.

Yohanes Krismanto, 35 mengatakan bahwa lukisan tidak sekedar membuat corat coretan. Tapi membuat lukisan perlu konsep sehingga lukisan mempunyai masa yang panjang.

"Untuk itu untuk perlu riset dulu (terkait tema), ya searching," ujar laki - laki yang biasa disapa Kris. Karena dengan riset, pelukis dapat membuat corat coretan gambar yang memancing orang untuk larut menikmati gambar tersebut.

Meski menaruh perhatian terhadap tema-tema Nusantara, namun ia tidak dapat sepenuhnya memaksakan idealismenya kepada setiap pemesan. "Kalau terlalu idealis, bagaimana akan menghidupkan seni itu sendiri, " ujar dia sambil tersenyum simpul.

Saat dia berada di ruang komersial, dia memberikan ruang kompromi yang lebih besar. Sedangkan minat idealismenya disalurkan di komunitas bersama teman - temannya untuk membuat karya - karya bertema Nusantara. Pasalnya selain membuat mural, mereka kerap melakukan workshop diberbagai tempat.


Sedangkan Iwan Setiawan, 35, yang mengenal lukis sejak kanak - kanak, memiliki keinginan terpendam untuk membuat mural di gedung tinggi. Makin merebaknya gedung tinggi di Tanah Air menyulutkan nyali untuk menorehkan karya di gedung tersebut. "Supaya, mural bisa dilihat dari kejauhan, " ujar jebolan ISI Yogyakarta ini.

Iwan bergabung dengan komunitas karena memilih minat yang sama terhadap kekayaan Nusantara. Bagi guru lukis anak - anak ini, ada makna yang lebih besar ketimbang dari motif maupun bentuk kekayaan Nusantara. "Justru kita mengenal budaya sendiri berarti mengenal diri sendiri, " ujar dia.‎ din/E-6

Penulis : Dini Daniswari

Komentar

Komentar
()

Top