
Mengukur Diri dengan Kebudayaan Indonesia
Ratna Riantiarno yang dinobatkan sebagai tokoh FTI 2017 tengah mendapatkan samir dari budayawan Indonesia Franz Magnis Suseno di Gedung IKJ Jakarta, pekan lalu.
Foto: foto-foto: Dok. Teater GandrikKebudayaan asli Indonesia tidak boleh ditinggalkan, apalagi dilupakan. Negeri ini bisa menjadi semakin kacau balau apabila karakter khas yang dimilikinya itu tidak dianggap lagi penting oleh 'penghuninya'.
Tepat di usianya yang menginjak 12 tahun, Federasi Teater Indonesia (FTI) kembali menggelar Malam Anugerah FTI Award XII 2017. Banyak kesan menarik dalam malam penghargaan kali ini, yaitu Lembaga nirlaba yang didirikan atas inisiatif budayawan, Radhar Panca Dahana pada 2004 silam di Taman Ismail Marzuki memberikan semua penghargaannya untuk 4 orang tokoh perempuan yang dinilai berjasa di dunia kesenian teater.
Mereka adalah Ratna Riantiarno yang telah berteater setengah abad lamanya lewat Teater Koma, mendapat penghargaan sebagai Tokoh FTI 2017. Toeti Heraty Noorhadi Roosseno pecinta seni sebagai Maecenas FTI 2017, Tatiek Maliyati Wahyu Sihombing, pengajar seni peran dan seni pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sebagai Abdi Abadi FTI 2017, dan pematung Yani Mariani Sastranegara yang memperoleh penghargaan khusus.
Panca dalam sambutannya menceritakan sebelumnya FTI telah memberikan penghargaan sebagai Tokoh FTI kepada WS Rendra (2006), Putu Wijaya (2007), Nano Riantiarno (2008), Slamet Raharjo Djarot (2009), Wisran Hadi (2010), Saini KM (2011), Rahman Arge (2012), Bakdi Soemanto (2013), Danarto (2014), Akhudiat (2015), dan Azwar AN (2016).
Sementara penghargaan Maecenas FTI telah diberikan kepada Jakob Oetama (2011), menyusul Sri Sultan Hamengkubuwono X (2012), Victor Hartono (2013), Sapta Nirwandar (2014), Dedi Mulyadi (2015), dan Dr. (HC) Ir. Ciputra (2016).
"Saya memperkirakan bahwa acara penghargaan ini yang terakhir dari FTI, entah akan ada atau muncul kembali dengan konsep baru atau tidak sama sekali, semua tergantung besok," ungkap Panca dalam Malam Anugerah FTI Award XII 2017, di Gedung Kesenian Jakarta, belum lama ini.
Kemudian Panca menyampaikan harapannya agar masyarakat dan khususnya kepada pemerintah untuk memberi perhatian atas kerja-kerja kesenian seperti ini, tidak hanya sekadar retorika, slogan apalagi ditempatkan seperti 'balon' harapan yang begitu besar seolah kebudayaan itu kekuatan terbaik di negeri ini.
"Kenyataannya urusan program sampai dengan anggapan belum diperhatian secara sungguh-sungguh, mudah-mudahan ketika pemerintah mau bekerja dengan baik pada soal kebudayaan, kerja-kerja kesenian mendapat dukungan yang lebih baik. Ini karena dukungan pemerintah dapat memberikan inspirasi kepada masyarakat swasta dan pengusaha untuk turut membantu, tetapi ketika pemerintah merosot perhatiannya, saya merasakan perhatian para pengusaha juga kian menurun terhadap dunia kesenian," tegas Panca.
Merosotnya Jati Diri Bangsa
Teater adalah fundamen, sifatnya seperti jembatan yang sering kita lalui setelah itu kita lupakan. Tetapi di malam penghargaan ini, 4 orang tokoh perempuan semakin menguatkan perjalanan kebudayaan Indonesia di era modern ini.
"kita harus akui diam-diam pertumbuhan intelektual dan daya imajinasi yang masyarakat miliki ada kontribusi dari ibu-ibu ini. Mereka menjadi inspirasi, dan banyak orang yang tumbuh menjadi pohon intelektual yang mampu menghasilkan anak pinak buah kebudayaan yang ranum," terang Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Idiologi Pancasila, Yudi Latif.
Yang dikhawatirkan sekarang apabila pohon-pohon intelektual itu tumbang, bagaimana nasib ke depan generasi penerus bangsa Indonesia?
"Kita sering kali hanyut dengan slogan kosong generasi zaman now. Kita tentu boleh mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak lupa aspek fundamental bangsa ini jangan dilupakan. Sekarang kita seperti mengejar layang-layang putus mengikuti perkembangan zaman, tapi hal-hal yang fundamental tidak ditata dengan baik. Literasi kita mundur luar biasa, daya apresiasi terutama yang high culture juga mundur. Padahal high tech bisa dirasakan manfaatnya apabila diikuti dengan daya sensivitas kebudayaan yang tinggi pula," lanjut Yudi.
Akibatnya, derasnya arus digital yang masuk, disambut dengan tata cara peradaban zaman batu, artinya tidak membaca dan menulis. "Indonesia adalah negara dengan intensitas pengguna sosial media nomor 4 di dunia, tapi literasi kita nomor 2 terbawah dari 61 negara. Mengkhawatirkan apabila daya sensitivitas kebudayaan kita rapuh di era high tech, Indonesia akan selalu menjadi badai gosip, tidak ada nalar kritis yang sejatinya bisa disumbangkan melalui kerja-kerja teater seperti ini," terangnya.
Di samping itu, negeri ini kacau karena telah jauh meninggalkan akar budayanya. "Orang Indonesia itu kan yang halus budi, tahu diri, sekarang malah bisa memfitnah orang, menghancurkan teman bahkan membunuh teman sendiri hanya untuk kepentingan sesaat, ini bukan Indonesia. Yang saya tahu dari sejarah, kesenian dari budaya yang kita punya, karakter orang kita itu pandai mengukur diri," ungkap Slamet.ima/R-1
Potensi Besar
KOTRA (Korea Trade-Investment Promotion Agency) yang merupakan badan promosi perdagangan investasi di bawah naungan Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea, memiliki peran penting membantu perusahaan-perusahaan Korea yang akan berinvestasi di Indonesia.
Berdiri sejak 1964, KOTRA melihat Indonesia memiliki potensi besar mulai dari tenaga kerja sampai sumber daya alam (SDA) yang besar. "Indonesia merupakan salah satu pasar penting untuk berinvestasi. Kami juga ingin memajukan Indonesia," kata Direktur KOTRA, Kim Byungsam dalam konferensi persnya di Jakarta, baru-baru ini.
Sejauh ini sudah ada sekitar 2.200 perusahaan Korea yang berinvestasi di Indonesia melalui peran KOTRA. Kim Byungsam menambahkan, ribuan perusahaan itu bergerak di berbagai bidang, mulai dari manufaktur, distributor, dan perbankan.
Peran KOTRA cukup diperhitungkan karena badan promosi Korea ini lebih dulu memberi gambaran pada para calon investor tentang situasi perekonomian di Indonesia, dengan harapan mereka bisa mengetahui apa saja yang dibutuhkan saat ingin berinvestasi.
Kendati demikian, Kim melihat Indonesia masih memiliki kekurangan, salah satunya terkait insentif atau keuntungan yang diberikan untuk investor. Berbeda dengan negara lain yang memberikan insentif bagi para investor asing. Pemerintah Indonesia justru memperlakukan para investor asing sama seperti perusahaan dalam negeri.
Selain itu juga terkait dengan prosedur perizinan tinggal para investor asing seperti KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) yang harus diperbarui setiap setahun sekali dan pemeriksaan imigrasi yang tiba-tiba.
Hal tersebut ternyata dinilai memengaruhi calon investor urung mendirikan perusahaan atau menanamkan modal di Indonesia. Mengenai kesulitan yang dihadapi para investor asing tersebut, KOTRA berharap pemerintah Indonesia bisa lebih memperhatikan serta membuat kebijakan yang memudahkan para investor dan para pengusaha asing untuk berbisnis di Indonesia.ima/R-1
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Polresta Cirebon gencarkan patroli skala besar selama Ramadhan
- 2 Negara-negara Gagal Pecahkan Kebuntuan soal Tenggat Waktu Laporan Ikim PBB
- 3 Kota Nusantara Mendorong Investasi Daerah Sekitarnya
- 4 Ini Klasemen Liga 1 Setelah PSM Makassar Tundukkan Madura United
- 5 Pemerintah Kabupaten Bengkayang Mendorong Petani Karet untuk Bangkit Kembali
Berita Terkini
-
Kemenekraf Dukung Heli Expo Asia 2025 Promosikan Indonesia Pusat Inovasi
-
Menperin: Manufaktur Tumbuh dan Menyerap Tenaga Kerja Baru Lebih Banyak Dari PHK
-
Ini Kontrak Baru Tijjani Reijnders di AC Milan
-
Waduh! Laga Persija vs PSIS Ditunda Akibat Banjir di Bekasi
-
Asyik Mancing Saat Banjir di Pejaten, Warga Dapat Lele Dumbo