Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mengembalikan Semangat Toleransi lewat Karya

Foto : koran jakarta/selocahyo
A   A   A   Pengaturan Font

Masuknya kebudayaan dari luar yang beraneka ragam terjadi melalui proses akulturasi.

"Aku hidup di sini, cari uang di sini, makan di sini, mati di sini. Ngapain milih jadi orang Tionghoa, harus milih jadi orang Indonesia"

Kalimat di atas diucapkan dengan lugas oleh Om Edy, salah satu tokoh Tionghoa di kampung Ampel, Surabaya, dalam film pendek "Empat Wajah Surabaya".

Pernyataan Edy seolah menyentil kondisi masyarakat akhir-akhir ini yang rentan terpengaruh sikap intoleransi terhadap perbedaan.

Tujuh puluh tiga tahun yang lalu Bangsa Indonesia berhasil meraih kemerdekaan. Dengan ikhlas, darah, harta, dan air mata telah diberikan oleh segenap rakyat dalam perjuangan demi mencapai kemerdekaan dengan ikhlas.

Tentu itu saja tidak cukup, persatuan dan kesatuan juga merupakan modal penting sehingga alam bebas kemerdekaan bisa leluasa kita nikmati saat ini.

Persatuan dan kesatuan merupakan senjata yang paling ampuh bagi bangsa Indonesia baik dalam rangka merebut, mempertahankan maupun mengisi kemerdekaan.

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali.

Masuknya kebudayaan dari luar yang beraneka ragam terjadi melalui proses akulturasi. Setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat, mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia. Jadi, persatuan dan kesatuan bangsa dapat mewujudkan sifat kekeluargaan, jiwa gotong-royong, musyawarah, dan lain-lain.

Krisis semangat persatuan akibat perbedaan yang marak belakangan ini, telah menimbulkan keprihatinan banyak pihak.

Tak ingin larut dalam keprihatinan, seorang mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Pembangunan Nasional Surabaya, Fadhli Zaky, berniat mengembalikan semangat toleransi masyarakat lewat karyanya "Empat Wajah Surabaya". "Empat Wajah Surabaya" adalah film pendek garapan Fadhli yang awalnya untuk dibuat untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

Film dengan durasi 45 menit itu bercerita tentang wajah kehidupan masyarakat di kawasan Ampel, Surabaya. Sebagaimana kota-kota besar lain, Surabaya juga dihuni oleh berbagai suku dan pendatang yang telah beranak-pinak, melebur dengan warga lokal.

Kampung Ampel di Surabaya dipilih Fadhli karena kawasan yang terkenal sebagai destinasi wisata religi Masjid Sunan Ampel ini terkenal didami oleh berbagai etnik dari latar belakang yang berbeda. Sebut saja Arab, Madura, Tionghoa, Banjar, dan tentu warga Surabaya asli. Namun hubungan keseharian mereka jauh dari kesan "kerah" (kurang akur), bahkan justru masyarakat di lingkungan yang juga menjadi sentra perdagangan itu selalu bahu-membahu dalam berbagai kegiatan.

Hal itu lah yang dipotret dalam "Empat Wajah Surabaya". Melalui "scene-scene" testimoni dari para tokoh setempat, dari berbagai latar belakang suku dan etnik. Mereka menegaskan bahwa multikulturalisme yang ada tidak menghalangi keguyuban warga dalam berinteraksi satu sama lain.

"Setiap hari saya berbicara dengan orang Madura, Arab, Jawa, sudah biasa, tidak ada gap-gap aku dari mana, kamu dari mana," kata Lim Kim Hao, salah satu tokoh Tionghoa, Tambak Bayan, Ampel dalam salah satu adegan.

Film yang diberi sentuhan warna temaram ini juga sarat akan lanskap Ampel yang didominasi bangunan-bangunan tua, lengkap dengan aktivitas keseharian warga seperti berdagang, mengurus anak, beribadah, hingga permainan barongsay. Sepanjang adegan, penonton akan ditemani skoring (musik pengiring) dengan sentuhan bunyi-bunyi etnik yang unik dan kalem.

"Harapannya film ini dapat menjadi media informasi yang valid terhadap kebudayaan di Surabaya dan isu minimnya toleransi yang sedang booming. Agar Surabaya dapat menjadi contoh kota yang masyarakatnya terbuka dan egaliter," ujar dia di Surabaya, Selasa (14/8).

Fadhli mengatakan, alasan memilih isu multikulturalisme karena memang ingin menampilkan realitas kebudayaan dari berbagai etnis. Menurut literatur yang dia gunakan sebagai referensi, pada era kolonial Belanda menggunakan sistem politik apartheid dan keempat etnis tersebut dipisahkan berdasarkan kawasan tempat tinggalnya. selocahyo/E-6

Komentar

Komentar
()

Top