Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
SAPD

Mengapresiasi Pendapat Anak Penyandang Disabilitas

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Anak penyandang disabilitas memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya tentang apa yang dirasakan, dan harapan-harapannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, di mana Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai usia dan tingkat kecerdasan Anak.

Lebih jauh, hak anak penyandang disabilitas juga dijamin dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas serta UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Mengingat pentingnya negara untuk mendengarkan pendapat anak penyandang disabilitas, maka perlu dilakukan kegiatan yang dapat menampung suara mereka.

"Salah satunya dengan memfasilitasi kegiatan Suara Anak Penyandang Disabilitas (SAPD) yang diharapkan bisa menjadi media penyampaian pendapat anak," ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Kegiatan ini diselenggarakan Kementerian PPPA. "Melalui kegiatan ini diharapkan kesadaran masyarakat meningkat dan lebih memahami bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan sama dalam mengembangkan kemampuannya agar mereka bisa hidup bermartabat seperti anak-anak pada umumnya," tambahnya. Berikut pendapat 3 pemenang SAPD.

Asyaffa Nur Julia, Disabilitas Fisik. Menulis Karya Berjudul "Transportasi"

Perkenalkan, namaku Asyaffa Nur Julia. Usiaku 17 tahun. Aku tinggal di Pasar Palmerah di sebelah Kantor Polsek Bintang Mas Jakarta. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku, Papah dan Mamah sambungku. Mamah kandungku meninggal dunia sejak aku berusia 12 tahun ketika mamahku melahirkan adikku yang ketiga.

Aku tidak dapat menggunakan kedua tanganku. Aku mengetik, menulis dan menggambar menggunakan kedua kakiku. Aku sehari - hari berangkat dan pulang sekolah menggunakan sepeda motor. Aku sedikit kesulitan untuk bepergian kemana-mana, apalagi kalau pulang sekolah menuju rumah harus menumpang ojek online (ojol). Kadang aku sering ditolak driver ojol. Karena kondisi fisikku tidak memungkinkan membonceng motor kecuali dipegangi dari belakang oleh mamahku, sehingga naik motor bertiga.

Aku pernah bepergian mengendarai bus khusus dari yayasan. Tetapi jumlahnya sedikit, sehingga tidak memungkinkan antarjemput aku dan teman-temanku. Aku juga pernah mencoba menggunakan transportasi umum, tetapi aku kesulitan untuk berpindah dari satu angkutan ke angkutan lain. Aku berharap pemerintah dapat menyediakan transportasi khusus untukku dan teman - temanku. yzd/R-1

Ataraka Abinaya, Disabilitas Fisik. Menulis Karya Berjudul "Mudahkan Transportasi Umum untuk Kami"

Aku Ataraka Abinaya, umurku 11 tahun. Aku duduk di kelas 5 di SDIT Al - Burhaniyah. Aku tinggal di Bekasi. Hampir setiap Sabtu dan Minggu, aku pergi ke rumah nenekku yang tinggal di Jakarta Timur. Di sana banyak transportasi umum seperti Transjakarta dan Commuter line. Kadang jika ingin menaiki Transjakarta, aku digendong karena aku tidak bisa menaiki tangga. Aku bersekolah selalu digendong ayahku untuk menaiki tangga, karena memang semua kelas 5 berada di lantai atas.

Pada 2016 aku sakit, lalu aku dibawa ke dokter anak. Dokter melihat kelainan pada jalanku, lalu aku dirujuk ke dokter spesialis syaraf anak. Disitulah aku dinyatakan memiliki penyakit DMD (Duchenne muscular dysthophy) yang merupakan distrofi otot yang menjangkiti satu dari 3.600 anak laki - laki dan dapat menyebabkan degenerasi otot. Semenjak itulah hingga sekarang aku masih menjalani terapi di rumah sakit Bekasi.

Suatu ketika, aku mengikuti kakakku mengerjakan tugas menjadi reporter. Kami menaiki bus tingkat wisata Jakarta. Kami naik dari Monas menuju Pasar Baru hingga Masjid Istiqlal. Aku ingin menaiki ke bagian atas bus, walaupun susah untuk menaiki tangga. Akhirnya aku harus digendong ayahku. Keterbatasan fasilitas pada transportasinya minim, terutama untuk aku yang mempunyai kekurangan.

Keinginanku semoga transportasi umum ramah untukku dan teman-temanku. Sehingga aku dapat mengelilingi Jakarta. Pada Minggu pagi, aku dan keluargaku bergegas ke Jakarta, untuk melihat JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) yang sedang viral dan ramah disabilitas, karena JPO yang dibangun pemerintah tidak menggunakan tangga melainkan tanjakan landai yang ramah untuk disabilitas.

Cita - cita dan harapan kami sangat besar agar semua sarana umum ramah disabilitas. Paling tidak, semua sarana umum tidak terlalu menyusahkan untuk kami. yzd/R-1

Novia Kusuma Anggraini, Disabilitas Fisik Menulis Karya Berjudul "Pengalamanku Mencari Sekolah"

Namaku Novia Kusuma Anggraini. Aku tinggal di Bandar Lampung. Umurku 9 tahun. Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Aku terlahir dengan disabilitas fisik (kedua tangan dan salah satu kakiku tidak tumbuh sempurna), namun aku selalu berusaha untuk melakukan banyak hal seperti orang umumnya. Aku dapat menulis, makan, bermain dan banyak hal lainnya. Keluargaku pun selalu mendukungku dalam berbagai hal. Mungkin banyak orang di luar sana yang menganggap anak- anak disabilitas tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal- hal seperti anak pada umumnya, namun kami dapat melakukan banyak hal dengan dukungan dari sekeliling kami.

Dalam kesempatan ini, aku akan membagikan kisahku dalam mencari sekolah hingga sampai pada sekolahku sekarang, ROKIA (Royal Kingdom Academy). Dulu keluargaku sempat bingung mencarikan sekolah yang baik untukku. Keluargaku takut jika nanti aku bersekolah di sekolah umum, aku akan mendapatkan pandangan bahkan perkataan tidak baik terkait kondisi fisikku. Sehingga sewaktu umurku 5 tahun, keluargaku memutuskan untuk memberikan les privat agar aku dapat belajar pengetahuan dasar.

Sebelumnya aku sudah dapat menulis menggunakan kaki kiriku. Selang beberapa bulan lesku terhenti dan selanjutnya aku diberikan pelajaran oleh kakakku. Sampai pertengahan 2016 keluargaku mendapat informasi tentang Yayasan Pelita Kasih (YPK).

YPK merupakan yayasan fokus pada anak dengan berbagai kondisi disabilitas dan bukan seperti sekolah umumnya yang menerapkan sistem kelas.Tak sampai setahun, Kepala Sekolah menyarankan keluargaku untuk mencarikan sekolah umum lainnya agar aku bisa mendapat pendidikan yang lebih baik.

Kemudian ibuku mencari sekolah lain, tapi justru mendapatkan penolakan bahkan salah satunya menolak dengan alasan mereka takut aku akan membawa pengaruh tidak baik kepada murid lain karena aku menulis menggunakan kaki.

Kemudian ibuku mendapat informasi tentang ROKIA, sekolahku sekarang. Awalnya ibuku khawatir jika aku tidak dapat beradaptasi dengan baik di sana terkait kondisiku. Namun aku berusaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan yang lain. Tak lama aku mendapatkan banyak teman. Aku juga belajar dengan giat agar dapat nilai yang baik dan membuat keluargaku bangga.

"Mereka ingin menyebar inspirasi, bahwa mereka butuh ruang untuk berkreasi," ungkap Menteri PPPA, Yohana Yembise. yzd/R-1

Komentar

Komentar
()

Top