Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Wayang Potehi

Menelusuri Jejak Seni Wayang Tiongkok Kuno di Kota Santri

Foto : Koran Jakarta/ Selocahyo Basuki Utomo

Kelenteng Hong San Kiong, di Gudo, Jombang, Jawa Timur.

A   A   A   Pengaturan Font

Peradaban Tiongkok telah lama diketahui mendominasi budaya di Asia timur. Dengan menjadi salah satu tunas peradaban, budaya Tiongkok memberikan pengaruh besar pada kesenian, tradisi, etiket, dan bahkan kuliner di Asia hingga saat ini.

Perkembangan budaya Tiongkok sempat dibatasi pada masa Orde Baru dan baru pada pasca reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6 / 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 / 1967, yang menjadikan masyarakat Tionghoa diberi kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya.

Setelah itu, melalui berbagai kesempatan terbuka masyarakat mulai sering melihat dan mengenali berbagai budaya kaum peranakan Tionghoa, termasuk merayakan upacara-upacara seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya.

Dalam berbagai perayaan, salah satu jenis kesenian peranakan yang ikut terangkat adalah Wayang Potehi.

Berasal dari era Tiongkok kuno yakni Dinasti Jin (265-420 M), seni pertunjukan Wayang Potehi telah hadir di Nusantara dibawa oleh para perantau Tiongkok pada tahun 1900-an. Awalnya teater wayang dari bilik panggung ini hanya dipentaskan di kelenteng-kelenteng saat upacara keagamaan, namun sekarang telah berkembang di berbagai kesempatan yang lebih luas.

Keberadaan museum sangat penting karena memiliki tanggung jawab dan fungsi untuk melestarikan, membina, sekaligus mengembangkan budaya masyarakat baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui pesan-pesan yang dirangkai lewat etalase dan ruang pameran, museum di Indonesia berfungsi sebagai sarana komunikasi dan jembatan penghubung yang dapat memicu kesadaran dan pengetahuan bagi masyarakat

Berawal di kawasan pesisir Pulau Jawa, ternyata kini Wayang Potehi telah menyebar ke berbagai pelosok Tanah Air, mengikuti keberadaan kelenteng sebagai tempat peribadatan penganut kepercayaan tradisional Tionghoa.

Salah satu daerah dengan perkembangan seni Wayang Potehi cukup pesat adalah Kabupaten Jombang. Berpusat di Kelenteng Hong San Kiong di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, teater Wayang Potehi tidak hanya menjadi bagian dari ritual umat Tri Dharma, tapi juga turut digemari warga sehingga sebagian dari mereka tertarik untuk terjun mempelajari kesenian ini.

Bahkan kini masyarakat dapat melihat koleksi-koleksi boneka Potehi di lingkungan Kelenteng Hong San Kiong yang ditempatkan di Museum Wayang Potehi.

Berdirinya Museum Wayang Potehi di Gudo terjadi dari akulturasi budaya pada masa lalu. Bukti-bukti sejarah masuknya kesenian Tionghoa ke Jombang ini masih tersimpan rapi hingga kini di museum tersebut.

Pendiri museum adalah ketua Yayasan Kelenteng Hong San Kiong, Toni Harsono. Sedangkan kepemilikannya diberikan kepada Yayasan Fu He An Indonesia. Sebaliknya, pengelolaan museum diserahkan kepada unit pengelola Kelenteng Hong San Kiong.

Toni mengatakan bahwa koleksi yang dipamerkan berupa boneka dan peralatan pewayangan Potehi. Pendirian museum bermula pada tahun 2001, namun hingga kini museum tersebut belum sepenuhnya siap.

"Karena ada keterbatasan dana sehingga pengembangannya agak tertunda. Tapi meskipun dengan kondisi seadanya masyarakat sudah bisa berkunjung, banyak juga mahasiswa yang datang untuk membuat skripsi," ucap Toni.

Kabar baiknya, pengunjung yang datang tidak dipungut biaya masuk. Masyarakat dapat melihat berbagai koleksi wayang Potehi, termasuk sejumlah artefak.

Toni menjelaskan, saat tiba di Kota Santri itu, mendiang kakeknya, Tok Su Kwi, yang juga seorang dalang dari Coan Ciu, Provinsi Hokkian, Tiongkok, tidak hanya membawa ratusan boneka Potehi, tapi juga memboyong panggung dan berbagai alat musik untuk pementasan.

"Kakek saya mementaskan Wayang Potehi keliling ke kelenteng-kelenteng, seperti tahun 1933 di Surabaya," tutur dia. "Ada 5 ribu lebih boneka Potehi yang kami koleksi di sini. Sekitar 110 adalah boneka kuno asli dari Tiongkok yang dibawa oleh kakek saya. Lainnya peninggalan dalang jaman dulu seperti dari Liem Sing Yje Wan dari Tulungagung, juga hasil para pengrajin," imbuh dia.

Toni menjelaskan, dari berbagai koleksi museum tersebut, peninggalan kakeknyalah yang paling berharga berupa ratusan boneka wayang Potehi dari zaman dinasti Tiongkok kuno yang dipajang di sebuah lemari kaca, serta panggung kayu peninggalan grup kesenian Wayang Potehi sang kakek, Fu He An.

"Wayang-wayang hasil pengrajin kami juga diminati oleh kolektor. Tapi khusus yang asli Tiongkok dari kakek saya, tidak mungkin kami lepas," ujar dia.

Hingga kini, Toni masih menyempatkan berburu boneka Wayang Potehi bila ia sedang membawa rombongan pemain untuk pentas, baik itu di dalam maupun luar negeri. "Beberapa koleksi museum ini ada juga dari kelenteng di Semarang, ada yang dari Taiwan, Penang, dan tempat lain," papar dia.

Ketelitian Pengrajin

Toni Harsono harus berjuang untuk melestarikan kesenian Wayang Potehi. Niat itu tidak mudah. Bertahun-tahun ia harus pontang-panting untuk mencari referensi tentang wujud boneka Potehi yang asli.

"Waktu saya ke asal Potehi di Hokkian, bentuknya sudah banyak yang dimodifikasi sesuai selera pemainnya sekarang, sehingga saya harus berkeliling ke Taiwan atau ke kelenteng-kelenteng kuno di sini," ungkap dia. "Karena ada beberapa boneka yang saya rasa tidak cocok dengan karakternya, maka saya mempunyai inisiatif untuk membuat sendiri boneka Potehi dari berbagai peninggalan asli atau catatan kuno yang ada," tutur dia.

Dengan referensi yang terbatas tersebut, Toni kemudian merekrut beberapa pekerja untuk memproduksi Wayang Potehi sesuai dengan aslinya. Setiap pembuat wayang bekerja sesuai keahlian masing-masing, contohnya pembuat kepala, tubuh dan kaki, serta busana yang akan dikenakan.

Uniknya, para pekerja atau pemahat yang direkrut, justru tidak memiliki latar membuat boneka Wayang Potehi sama sekali. Pemilihan para pekerja lebih didasarkan kecocokan dalam bekerja sama serta minat antusias mereka terhadap upaya pelestarian seni Wayang Potehi.

Saat ini, bengkel di lingkungan Museum Wayang Potehi Gudo memiliki 10 orang perajin. Mereka terdiri dari 5 orang pembuat kepala wayang, pembuat kaki dan tangan 4 orang, serta untuk pengecatan 1 orang.

Mulyono, 50 tahun, warga Desa Pesanggrahan, Gudo, adalah salah satu pembuat wayang yang telah bekerja dilingkungan Museum Potehi, Jombang, sejak tahun 2020. Pria yang memiliki profesi awalnya sebagai tukang batu ini sudah mulai bekerja di berbagai proyek bangunan di sekitar Jombang karena diajak oleh orang tuanya .

"Tapi cari pekerjaan susah, kesana-kemari belum tentu dapat. Karena nukang penghasilan tidak pasti, lalu diajak untuk membuat kepala wayang dan hingga sekarang setiap hari ada pesanan," ungkap dia.

Mulyono yang kini telah berhasil menguliahkan putranya di Universitas Islam Negeri Malang ini mengaku, dalam satu hari dapat menyelesaikan satu karakter/kepala boneka Potehi. "Awalnya butuh tiga hari untuk membuat satu kepala wayang, sekarang satu kepala satu hari. Dalam satu bulan rata-rata ada 30 pesanan, lebih dari penghasilan menjadi tukang bangunan," ungkap dia.

Mulyono mengaku sekarang ia telah menguasai pembuatan untuk sekitar 60 karakter atau wajah wayang. Menurutnya, ia selalu mengutamakan fokus dan ketelitian selama bekerja. "Kerja ini harus fokus kalau capek harus istirahat, bahaya bisa terluka. Seni melatih kesabaran. Yang sulit membuat agar wajah wayang simetris, pahatan hidung, pipi kiri kanan, karena jika kanan kiri tidak sama, wajah tokoh-tokoh yang ganteng akan langsung kelihatan," kata dia.

Mulyono pun mengaku mencintai memiliki profesi sebagai perajin Wayang Potehi. "Kerjanya pagi sampai sore, tidak terlalu fisik tapi perlu ketelitian. Saya akan terus melakukan ini sampai tidak kuat lagi," tegas dia. SB/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top