Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menelusuri Jejak Peradaban Megalitikum di Kampung Bena

Foto : ISTIMEWA/KEMDIKBUD

Potret Desa Kampung Bena

A   A   A   Pengaturan Font

Kampung Bena di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, berada pada ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letaknya berada di punggung Gunung Inerie yang puncaknya berada di ketinggian 2.245 mdpl.

Lokasinya berada di utara Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada dengan jarak 5,2 kilometer. Sedangkan jarak Bajawa dengan puncak Gunung Inerie mencapai 5,2 kilometer. Bajawa sendiri dikenal sebagai kota dengan suhu yang dingin karena berada pada ketinggian lebih dari 1.300 mdpl.

Menurut laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kampung Bena merupakan salah satu perkampungan dari zaman megalitikum atau batu besar. Keberadaannya diperkirakan telah ada sejak 1.200 tahun yang lalu.

Menurut Von Heine Geldern, zaman megalitikum di Indonesia tersebar melalui dua gelombang yang berbeda. Pertama Megalitik Tua yang menyebar ke Indonesia pada zaman Neolitikum antara 2500 hingga 1500 SM dan dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi atau Proto Melayu.

Sedangkan gelombang berikutnya atau era Megalitikum Muda, menyebar ke Indonesia pada zaman Perunggu antara 1000 SM hingga 1 Masehi. Kebudayaan ini dan dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson atau Deutro Melayu.

Periode inilah saat manusia menggunakan batu berukuran besar sebagai pondasi dari bangunan hingga tempat beribadah kepada arwah nenek moyang. Tradisi kebudayaan ini terlihat dari bangunan batu-batu besar seperti dolmen, kubur batu, sarkofagus, punden berundak, menhir, arca, dan patung.

Masyarakat Kampung Bena mempercayai dan memuja gunung sebagai tempatnya para dewa. Mereka meyakini bahwa keberadaan Dewa Yeta yang bersinggasana di Gunung Inerie yang akan melindungi kampung mereka dari bencana.

Letak Kampung Bena berada di puncak bukit merupakan sebuah ciri khas bangunan masa lalu yang memanfaatkan tanah yang tinggi untuk mendekatkan diri dengan penguasa alam. Pintu masuk perkampungan ini hanya satu yaitu dari sisi utara, sementara sisi selatan berupa tebing terjal menuju lembah.

Kampung ini memiliki 45 buah rumah tradisional yang berjajar berhadap-hadapan membentuk semacam perahu memanjang dari utara ke selatan. Susunan ini menurut kepercayaan yang berlaku, memiliki kaitan sebagai wahana bagi arwah yang menuju ke tempat tinggalnya yang abadi.

Rumah-rumah ini memiliki bentuk atap limas. Bahan atapnya adalah daun alang-alang yang dianyam sedemikian rupa. Di dalam setiap rumah terdiri dari tiga bagian yaitu lewu sebagai tiang penunjang yang ditanam ke tanah, sao untuk bagian lantai dan dinding, serta iru untuk bagian atap.

Area rumah terbagi menjadi tiga tingkatan yakni teda moa yang digunakan untuk situasi santai seperti perempuan menenun sambil menjaga anak kecil. Lalu masuk ke dalam ada area teda one yang diperuntukkan untuk menerima tamu atau dalam situasi resmi. Terakhir ada one sao atau bagian paling dalam. One sao dilengkapi plat kayu di pintu masuk yang dinamakan kabapere dengan beberapa ukiran motif seperti kepala kerbau dan sawa di sisi kanan kiri dan bawah mengapit pintu masuk yang berukuran kecil.

Ketika masuk ke one sao, ada sikap menunduk sebagai tanda hormat kepada mataraga, yakni media sakral yang dianggap penghubung maha kuasa dengan manusia yang hidup di dalam rumah. Area one sao digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi keluarga di rumah tersebut.

Di lapangan kecil terbuka tengah-tengah kampung, terdapat sebuah bangunan dari kayu dengan nama nga'dhu dan bhaga. Keduanya merupakan simbol leluhur kampung yang berada di halaman, dan kisanatapat, tempat upacara adat digelar untuk berkomunikasi dengan leluhur.

Nga'dhu berarti simbol nenek moyang laki-laki dan bentuknya menyerupai sebuah payung dengan bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk, hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang nga'dhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat. Sedangkan bhaga berarti simbol nenek moyang perempuan yang bentuknya menyerupai bentuk miniatur rumah.

Kampung yang dihuni oleh sembilan klan masing-masing memiliki rumah keluarga inti (Sao Meze) yang memiliki filosofi sendiri tentang rumah tinggal. Setiap rumah besar mempunyai rumah pendukung yang disebut kaka pu'u dhai pu'u, kaka lobo, dan dhai lobo.

Untuk nenek moyang perempuan yang disebut sao saka pu'u memiliki tanda miniatur bhaga di atas atap. Setiap tanda di tepi atapnya terpasang tusuk rambut terbuat dari bambu dengan kelapa muda berukuran kecil sebagai pangkalnya yang disebut ana ie.

Selanjutnya untuk rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa'o saka lobo. Rumah ini dapat diidentifikasi dengan adanya patung pria berbalut ijuk yang memegang parang dan tombak yang terpasang di atas rumah.

Kearifan Lokal

Penduduk Kampung Bena termasuk ke dalam Suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama Katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan perempuan, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum perempuan masih ditambah dengan bertenun.

Pada awalnya hanya ada satu klan atau sekelompok keluarga di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan klan lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk Kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat di sini menganut sistem kekerabatan matriarki.

Jumlah klan kini mencapai 9 klan terdiri dari Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, dan Ago. Pembeda antara klan dengan klan lainnya adalah adanya tingkatan sebanyak 9 buah dan setiap satu klan berada dalam satu tingkat ketinggian.

Meski teknologi telah berkembang Kampung Bena hanya menerapkannya energi listrik secara terbatas misalnya untuk penerangan. Hingga kini pola kehidupan serta budaya masyarakatnya tidak banyak berubah. Mereka masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Itulah mengapa arsitektur bangunan Kampung Bena dibangun dengan memperhatikan fungsi dan makna yang mendalam. Masing-masing mengandung kearifan lokal dan masih relevan diterapkan masyarakat pada masa kini dengan pengelolaan lingkungan yang ramah lingkungan. Bukti masyarakat tidak mengeksploitasi lingkungannya bisa dilihat dengan membiarkan kontur tanah seperti asli yang berbukit-bukit.

Pada 1995 Kampung Bena telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO. Kini kampung ini sudah masuk dalam daerah tujuan wisata andalan Kabupaten Ngada. Pengunjungnya terutama wisatawan asing yang tertarik dengan wisata budaya. Kebanyakan mereka berasal dari Eropa terutama dari Jerman dan Italia, yang bertanya tentang seluk beluk kampung ini secara mendalam ke pemandu wisata.

Selain melihat bangunan dari masa pra sejarah atau per tulisan, bisa dijumpai kerajinan hasil karya perempuan Kampung Bena yaitu kain tenun ikat. Para perempuan di kampung itu harus bisa menenun, dan kemampuan itu sudah diasak sejak kecil. "Kami (perempuan) di Bena harus tahu menenun sejak kecil," kata Tina Bebhe, 38 tahun, yang dengan ramah menjawab pertanyaan pengunjung kampung tersebut, dikutip dari Antara.

Kain tenun ikat dengan corak beraneka ragam dijual pada kisaran harga kisaran harga 300 ribu rupiah. Namun ada versi lebih mudah dengan ukuran lebih kecil dengan kisaran harga antara harga 75.000-100.000 rupiah.

Informasi yang diperoleh dari Pusat Informasi Pariwisata Kampung Adat Bena, ragam motif tenun ikat yang dihasilkan para perempuan adalah motif jara (kuda), wa'i manu (cakar ayam), ghi'u (garis dinamis), ube, nga'dhu, dan bhaga.

Berbeda dengan motif tenun dengan wilayah lain di Flores, motif di Kampung Bena didominasi oleh warna biru nila. Selain itu meskipun warna dasar sarung sama yaitu hitam, namun ada perbedaan yakni garis merah dan kuning pada bagian tepi bawah.

Untuk mengunjungi Desa Bena, sejak 2015 pengunjung dikenakan tiket masuk. Penerapan tiket masuk ini diatur dalam Peraturan Desa Tiworiwu Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pungutan Desa Karcis Tanda Masuk Kampung Tradisional Bena. Saat ini tiket masuk yang dikenakan sebesar 20.000 rupiah.


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top