Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menaruh Asa pada Transjakarta

Foto : istimewa

Menanti Bus I Calon penumpang menanti kedatangan bus TransJakarta di Halte Pasar Rumput yang kacanya pecah di Jakarta, Minggu (3/2).

A   A   A   Pengaturan Font

Bulan depan, kereta Ratangga (sebutan nama kereta Moda Raya Terpadu/MRT) bakal dioperasikan komersial. Pembangunan MRT ini bukan tanpa sebab. Kemacetan di Ibu Kota yang jadi penyakit menahun adalah salah satu alasannya.

Meski telah lama pembangunan MRT ini dirancang, konon sejak tahun 1970-an, namun realisasinya baru terlaksana dalam satu dasawarsa ke belakang. Selain karena harus melewati beragam kajian, penyebab lainnya karena imbas krisis moneter yang menimpa dunia.

Kini, Ratangga sudah di depan mata. Bahkan, ada juga moda transportasi berbasis rel lainnya, yakni kereta ringan atau Light Rapid Transit (LRT). Kedua moda transportasi umum baru ini digadang-gadang bisa mengurai kemacetan di Jakarta.

Bisa saja kemacetan terurai, asalkan warga Ibu Kota mau menyimpan kendaraan pribadinya di garasi atau ruang parkir yang disediakan. Tapi, itu tak mudah. Selain lebih murah, penggunaan kendaraan pribadi dianggap lebih nyaman. Bisa mengantarkan mereka dari rumah ke tempat tujuan hingga kembali ke rumah.

Tentu, tantangan ini cukup berat dihadapi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Mengalihkan masyarakat agar memakai angkutan umum massal butuh proses. Kini, beban memindahkan warga ke angkutan umum ada di pundak PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). Selain bertugas melayani warga dari rumah ke stasiun MRT atau LRT terdekat, Transjakarta pun diamanatkan bisa mengintegrasikan seluruh moda transportasi di Ibukota. Mulai angkutan kota (angkot), bus Transjakarta itu sendiri, MRT, LRT, hingga commuter line atau KRL Jabodetabek.

Tak mudah memang. Beban integrasi itu tidak hanya soal fisik semata, menghubungkan halte dan stasiun, namun juga menginstegrasikan cara pembayaran. Untungnya, Transjakarta memiliki pengalaman mengintegrasikan angkot sejak setahun belakangan ini. Melalui program One Karcis One Trip (OK Otrip) Belakangan, program itu diberi nama Jak Lingko.

Dari data Transjakarta, penumpang Jak Lingko telah mencapai 73.086 orang per hari sejak setahun diujicobakan. Mereka dilayani oleh 603 armada Jak Lingko atau angkot dengan layanan 29 rute dan sembilan operator angkot yang telah bergabung dengan Transjakarta.

Targetnya, penumpang Jak Lingko ini bisa mencapai 221.914 orang per hari. Jumlah armada angkot yang berubah jadi Jak Lingko pun harus mencapai 1.441 unit, termasuk seluruh operatornya sebanyak 11 operator dibujuk bergabung dengan Transjakarta melalui sistem rupiah per kilometer.

Ironis memang. Transjakarta yang didaulat menjadi contoh bagi operator moda transportasi, ternyata belum bisa memberikan standar pelayanan minimum. Terlebih, bus yang terkena musibah itu dikelola langsung PT Transjakarta. peri irawan/P-5


Redaktur : M Husen Hamidy

Komentar

Komentar
()

Top