Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Meme dan Kontestasi Keagamaan di Ruang Digital

Foto : ISTIMEWA

Borobudur

A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dr Li Edi Ramawijaya Putra, MPd

Istilah meme pertama kali muncul tahun 1976 di buku karya Richard Dawkins berjudul The Selfish Gene. Saat ini meme sudah menjadi bagian dari interaksi masyarakat terkoneksi dalam ruang-ruang maya. Pada prinsipnya, meme adalah produk berkomunikasi digital melalui reproduksi objek gambar dan teks membentuk suatu pesan dan makna tertentu.

Meski tujuan utamanya menyampaikan pesan dengan gaya satire dan humor, tidak sedikit para pencipta (creator) dan pengunggah (uploader) tersandung persoalan hukum. Hal ini disebabkan rendahnya literasi terhadap aspek-aspek etik dan yuridis dalam konteks kehidupan beragama.

Penggunaan simbol-simbol agama dan objek yang dihormati atau disucikan dalam agama tertentu sering dieksploitasi dalam proses kreasi dan distribusi meme. Tak pelak ketika konten ini di permukaan jagat maya selalu menuai polemik dan kontroversi.

Mudahnya akses dalam produksi meme membuat distribusi semakin masif dan cepat. Situs seperti memegenerator.net, memberikan layanan terbuka dan gratis untuk mendesain meme sesuai dengan keinginan. Tersedianya pilihan gambar berbasis pencarian kata kunci dan integrasi teks sesuka hati menjadikan meme konten digital yang sangat mudah diciptakan oleh siapa pun.

Bersatunya unsur gambar dan teks dalam meme membentuk keterpaduan multimodalitas yang mengandung unsur semiotik (makna) tertentu. Gaya komunikasi dan interaksi digital yang cepat dan instan terutama dalam media sosial membutuhkan objek digital seperti meme.

Ruang digital kini menjadi wadah kontestasi kesadaran keagamaan yang sangat ramai. Kemudahan dalam akses dan proses membuat interaksi kehidupan keagamaan semakin menjadi pilihan dan gaya hidup masyarakat modern. Namun kebebasan dalam genggaman ini perlu diwaspadai agar tidak menjadi sumber perpecahan dan permusuhan umat beragama dan antarumat beragama.

Kasus meme Borobudur yang menyeret mantan Menpora, Roy Suryo, dan yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan penodaan agama merupakan puncak gunung es di tengah lautan kehidupan dengan interaksi digital. Ini harus menjadi lesson learned bersama. Warganet dalam ekspresi keagamaan di ruang maya wajib mengindahkan aspek-aspek yang disakralkan atau disucikan pada simbol atau lambang agama-agama tertentu.

Literasi digital terutama dalam aspek pemerolehan dan pemrosesan informasi juga perlu terus ditingkatkan. Tidak menutup kemungkinan seseorang dapat menjadi korban atas keteledoran sendiri karena minimnya asupan literasi di era banjir informari.

Kampanye saring sebelum sharing oleh Kominfo seharusnya menjadi bahan refleksi bagi setiap insan internet agar tidak terjerembab dalam pusaran hoax, false news atau fake news. Mengutip substansi Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Panduan Bermuamalah melalui Media Sosial unggah atau konten dalam bermedia sosial hendaknya selalu harus berdasar pada pertimbangan kebenaran, kesahihan, kebermanfaatan, dan kepantasan (sumber mui.or.id).

Penggunaan objek yang dihormati dan diluhurkan dalam agama tertentu tidak hanya melukai perasaan pemeluknya namun seluruh komponen bangsa yang berpegang teguh pada nilai toleransi sebagai prinsip dasar beragama dan bernegara.

Oleh karena itu, kesadaran keagamaan dalam ruang digital memberi tantangan tersendiri kepada semua stakeholder moderasi beragama. Mereka harus terus-menerus memelihara kerukunan dan keharmonisan sesame pemeluk agama. (Penulis Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Dharma DPP Gemabudhi)


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top