Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Wisata Nias

Melihat Sisa Peninggalan Zaman Batu di Desa Adat Bawomataluo

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Setelah menikmati kesunyian dan mencoba bertahan hidup dalam konsep survivacation atau survival vacationK, atau menjalani bulan madu di Pulau Siroktabe yang tak berpenghuni, perjalanan di kepulauan Nias bisa dilanjutkan dengan melihat kekayaan budayanya.

Salah satu budaya khas Nias yang tidak dijumpai di tempat lain adalah lompat batu. Hal sangat menarik hingga menjadi gambar dalam mata uang kerta pecahan 10.000 rupiah, yang kini sudah sulit dicari karena sudah berganti dengan yang baru.

Untuk melihat upacara lompat batu bisa disaksikan di Desa Adat Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Lompat batu merupakan sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias.

Untuk melihat upacara ini bisa datang pada Festival Budaya Bawomataluo sebuah festival tahunan yang diadakan di desa ini sejak menyandang status sebagai desa budaya. Tradisi dalam bahasa Nias disebut dengan hombo atau fahombo.

Aksis tersebut biasanya dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2 meter. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa mereka yang berhasil melompat merupakan anak yang sudah pantas untuk dianggap dewasa secara fisik.

Berawal dari ritual adat, pada kenyataannya hombo kini telah bergeser menjadi olahraga tradisional Suku Nias. Lompat batu telah menjadi bagian dari kegiatan yang menghubungkan aktivitas fisik dengan ritual, seni, dan bela diri.

Batu yang dilompati berbentuk monumen piramida dengan bagian atas datar. Kesuksesannya bukan hanya diukur pada kemampuan melompatinya namun juga juga harus bisa mendarat dengan tetap dalam keadaan berdiri. Jika terjadi kesalahan risikonya berupa cedera otot bahkan patah tulang.

Selain melihat atraksi lompat batu di desa tersebut bisa melihat bangunan rumah adat, tradisi sisa peninggalan zaman megalitik, tarian tradisional. Cara terbaik berkunjung ke sini adalah pada saat diadakan Festival Budaya Bawomataluo yang diadakan setahun sekali.

Nama Bawomataluo berarti matahari terbit. Desa yang berada pada 324 meter di atas permukaan laut (mdpl) memang sangat cocok untuk melihat matahari tersebut karena berada di tempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya.

Bawomataluo diperkirakan desa ini telah ada sejak abad ke-18. Titik ketinggian ini dipilih untuk memantau wilayah di sekitar sekaligus sebagai benteng pertahanan jika terjadi penyusupan oleh musuh. Saat itu mereka saling berperang satu sama lain untuk memperluas atau mempertahankan teritorial kampung mereka.

Dari ketinggian desa Bawomataluo kini wisatawan dapat menyaksikan pemandangan dengan latar belakang Desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake serta Teluk Lagundri yang berada di tenggara pulau. Kedua pantai yang berada di teluk dikenal sebagai surga bagi para peselancar (surfer) dari berbagai negara.

Tak jauh dari gerbang desa adat Bawomataluo yang menanjak, deretan omo hada atau rumah adat mulai terlihat di sisi kanan kiri jalan. Rumah tradisional ini menjadi tempat tinggal para kepala negeri atau tuhenon, kepala desa atau salawa, dan kaum bangsawan.

Pada omo hada, bangunannya berbentuk persegi dan terdapat tiang-tiang dari kayu serta atap rumbia. Rumah adat ini tampak sama namun jika dilihat lebih jeli ada beberapa perbedaan pada ukuran, tinggi, serta tangga masuk ke dalam rumah.

Ternyata perbedaan ini disengaja dengan tujuan untuk membedakan strata sosial pemilik rumah. Biasanya di depan rumah ada tugu batu, dan semakin tinggi tugu tersebut, maka melambangkan status sosial seseorang.

Selain omo hada ada juga omo sebua, jenis rumah adat atau rumah tradisional yang khusus dibangun untuk kepala adat dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu.

Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua dibuat memperhatikan kekuatan karena bahan rumah ini tahan terhadap goncangan gempa bumi.

Namun ukuran omo sebua biasanya lebih besar, struktur kayu lebih kokoh, atapnya tinggi dan tidak lagi terbuat dari rumbia. Di desa adat Bawomataluo bangunan kayu ini memiliki atap dari bahan logam seng yang lebih awet dari panas dan hujan.

Salah satu keunikan dari rumah adat di Bawomataluo dan Nias pada umumnya adalah konstruksinya yang dibangun tanpa paku sama sekali. Sebelum membangun rumah, akan dilakukan upacara adat terlebih dahulu agar membawa berkah untuk pemilik rumah dan menjaganya dari hal-hal buruk.

Mengunjungi desa adat Bawomataluo sekana ingatan dibawah memasuki lorong waktu, pindah ke zaman batu. Tradisi lompat batu dan rumah-rumah tersebut disebut tidak lepas dari warisan budaya megalitik atau batu besar yang masih tersisa di sana.

Seperti diketahui tradisi megalitik merupakan bentuk-bentuk praktik kebudayaan dengan ciri khasnya melibatkan monumen atau struktur tersusun dari batu-batu besar. Di desa itu tradisi megalitik terbagi dari beberapa jenis, yaitu diletakkan mendatar dan disebut daro-daro dan yang dalam posisi tegak atau naitoro,

Batu tersebar berada di depan rumah raja. Jadi, pada bagian pintu gerbang rumah raja, terdapat dua buah meja batu berbentuk perahu. Panjangnya mencapai 346 sentimeter (sentimeter), lebar 194 sentimeter, serta ketebalan 39 sentimeter.

Batu tersebut dihiasi ornamen berupa pahatan bermotif bunga, daun, dan manusia dalam posisi tengkurap. Terdapat juga meja batu lain berbentuk bulat dan ditopang empat tiang batu serupa pilar dengan tinggi 134 sentimeter dan diameternya 120 sentimeter. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top