Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemanasan Global

Mayoritas Warga Asean Dukung Penghentian Penggunaan Batu Bara

Foto : ANTARA/NOVA WAHYUDI

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu.

A   A   A   Pengaturan Font

SINGAPURA - Masyarakat di Asia Tenggara (Asean) kini semakin paham mengenai perubahan iklim, namun gejolak politik dan kekhawatiran ekonomi mengalihkan mereka dari urgensi pemanasan global.

Dikutip dari The Straits Times, akademisi iklim terkemuka berdasarkan survei terbarunya mengatakan sekitar 65 persen responden mendukung penghentian penggunaan batu bara secara bertahap segera atau pada 2030.

"Saya pikir masyarakat pada umumnya memiliki persepsi positif mengenai transisi dari penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih berkelanjutan," kata Sharon Seah, rekan senior dan koordinator di Pusat Studi Asean dan Program Perubahan Iklim di Asia Tenggara, ISEAS -Yusof Ishak Institute.

Sejak 2020, ISEAS (Institute of Southeast) Asian Studies - Yusof Ishak Institute di Singapura telah menyelenggarakan survei iklim tahunan Asia Tenggara mengenai sikap kawasan mengenai ancaman perubahan iklim, dan cara terbaik untuk mengatasi krisis ini.

Selama empat tahun terakhir, keraguan mengenai apakah manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim telah hilang.

Pada 2020, lembaga ini bertanya kepada responden tentang sejauh mana aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim, apakah aktivitas tersebut tidak bertanggung jawab, bertanggung jawab sebagian, atau sebagian besar bertanggung jawab.

Mayoritas negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (Asean), mengatakan aktivitas manusia adalah penyebab utama bencana ini.

"Kita benar-benar menghilangkan pertanyaan itu," kata Sharon Seah, rekan senior dan koordinator di Pusat Studi Asean dan Program Perubahan Iklim di Asia Tenggara, ISEAS - Yusof Ishak Institute.

Dia mengatakan tidak dapat disangkal manusialah yang menyebabkan perubahan iklim. Tim Seah menjalankan survei tahunan, edisi terbaru yang diterbitkan pada September.

Lembaga ini menerima 2.225 tanggapan terhadap kuesioner online selama Juli dan Agustus dari masyarakat di 10 negara anggota Asean mulai dari akademisi, pelajar dan pensiunan, hingga pemerintah, lembaga think tank, dan masyarakat sipil.

Jadi Ancaman

Meskipun suhu global mengalami panas ekstrem, kebakaran hutan, dan banjir dalam beberapa bulan terakhir, Seah mengatakan hanya kurang dari separuh atau 49,4 persen, dari mereka yang disurvei merasa perubahan iklim merupakan ancaman langsung.

Angka ini turun dari 68,8 persen pada survei tahun 2021, namun naik sedikit dari 46,6 persen pada tahun 2022. "Jelas sekali, itu bukan hal yang utama. Mengapa? Karena di kawasan ini kita melihat banyak perubahan," kata Seah merujuk pada pemilu yang baru-baru ini dan yang akan datang serta ketidakpastian politik.

Kedua, terdapat banyak kekhawatiran di wilayah ini pascapandemi, seperti peningkatan pendapatan dan kesenjangan sosial. Kekhawatiran ini semakin diperparah oleh tekanan inflasi, kenaikan suku bunga, dan gangguan ekonomi, terutama terkait persaingan politik antara AS dan Tiongkok.

"Salah satu tren yang paling mencolok adalah kepasifan responden kaum muda," katanya.

"Sejak kami memulai survei ini, dan bahkan sebelumnya, saya rasa asumsi yang paling umum adalah bahwa generasi mudalah yang lebih peduli, lebih terlibat, dan lebih aktif. Namun kenyataannya, beberapa hasil menunjukkan sebaliknya," kata Seah.

Survei tahun ini menanyakan kepada responden sejauh mana menurut mereka dampak perubahan iklim akan berdampak negatif terhadap kehidupan mereka dalam waktu 10 tahun.

"Kaum muda ternyata merupakan kelompok yang paling pasif, dengan 34,6 persen mengatakan bahwa hal ini akan sangat berdampak pada mereka dalam 10 tahun, dan angka ini turun dibandingkan tahun lalu yang sebesar 49 persen," katanya.

Dari responden berusia di atas 60 tahun, 54,3 persen merasa perubahan iklim akan sangat berdampak pada mereka.

"Sama halnya dengan pertanyaan mengenai batu bara, ketika kami bertanya: haruskah Asean berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru? Kaum muda tentu saja menunjukkan ketidakpastian yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia di atas 60 tahun, yang menyatakan dukungan terbesarnya untuk tidak membangun (pembangkit listrik) batu bara baru," katanya.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top