Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Smart Irrigation

Mampu Prediksi Curah Hujan untuk Menghemat Air

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Penelitian terbaru dari Cornell University (CU), AS, menemukan model prediktif yang menggabungkan informasi tentang fisiologi tanaman, kondisi tanah riil, dan ramalan cuaca yang dapat membantu membuat keputusan yang lebih tepat tentang kapan dan berapa banyak untuk irigasi. Ini dapat menghemat 40 persen air yang dikonsumsi dengan metode yang lebih tradisional.

Kendati volume air tawar tidak terbatas, namun curah hujan tidak dapat diprediksi. Hanya 3 persen dari air dunia yang dapat diminum, dan lebih dari 70 persen air tawar digunakan untuk pertanian. Irigasi yang tidak perlu memboroskan air dalam jumlah besar - beberapa tanaman disiram dua kali lipat dari yang mereka butuhkan - dan berkontribusi terhadap pencemaran akuifer, danau, dan lautan.

"Jika Anda memiliki kerangka kerja untuk menghubungkan semua sumber data besar dan pembelajaran mesin yang sangat baik ini, kita dapat membuat pertanian cerdas," ungkap Fengqi You, profesor teknik sistem energi dari CU.

You adalah penulis senior Robust Model Predictive Control of Irrigation Systems With Active Uncertainty Learning and Data Analytics, yang diterbitkan dalam Transaksi IEEE tentang Teknologi Sistem Kontrol. Makalah ini ditulis bersama dengan Abraham Stroock, profesor teknik kimia dan biomolekuler, yang bekerja pada strategi konservasi air dengan petani apel di negara bagian New York dan petani almond, apel dan anggur di daerah yang dilanda kekeringan di Pantai Barat.

"Tanaman ini, ketika ditanam di semi-tengah, lingkungan semi-tengah California Central Valley, adalah konsumen besar air - satu galon air per almond. Jadi ada peluang nyata untuk memperbaiki cara kami mengelola air dalam konteks ini," kata Stroock.

Mengontrol kelembaban tanaman secara tepat, lanjutnya, juga dapat meningkatkan kualitas tanaman khusus yang sensitif seperti anggur.

Metode para peneliti menggunakan historis data cuaca dan pembelajaran mesin untuk menilai ketidakpastian ramalan cuaca real-time, serta ketidakpastian berapa banyak air yang akan hilang ke atmosfer dari dedaunan dan tanah. Ini dikombinasikan dengan model fisik yang menggambarkan variasi kelembaban tanah.

Mengintegrasikan pendekatan-pendekatan ini, berdasarkan penelitian tersebut, akan menginspirasi keputusan yang lebih baik.

Bagian dari tantangan penelitian adalah mengidentifikasi metode terbaik untuk setiap tanaman, dan menentukan biaya dan manfaat beralih ke sistem otomatis dari yang dioperasikan manusia. Karena pohon apel relatif kecil dan merespons perubahan curah hujan dengan cepat, mereka mungkin tidak memerlukan data cuaca berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pohon almond, yang cenderung lebih besar dan lebih lambat beradaptasi, mendapat manfaat dari prediksi jangka panjang.

"Kita perlu menilai tingkat kompleksitas yang tepat untuk kontrol strategi, dan yang paling keren mungkin tidak masuk akal. Para ahli dengan tangan mereka di katup cukup bagus. Kita harus memastikan bahwa jika kita akan mengusulkan seseorang berinvestasi dalam teknologi baru, kita harus lebih baik daripada para ahli itu," ujar Stroock. pur/R-1

Sistem Irigasi di Jepang

Sistem irigasi yang baik merupakan faktor penting dalam keberhasilan budidaya tanaman pangan. Salah satu negara yang telah menerapkan sistem irigasi terintegrasi adalah Jepang. Bahkan, eksistensi di sektor pertanian Jepang sudah tak diragukan lagi.

Sistem irigasi pertanian yang dikelola Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefectur, Jepang, selain unik juga sangat efisien dalam memanfaatkan air. Bahkan, penerapan manajemen pengelolaan sumber daya air sangat terstruktur sehingga para petani tidak kesulitan akan sumber irigasi.

Sekitar 3 km dari tempat lahan yang dikelola terdapat sungai besar yang debit airnya cukup tetapi tidak berlebihan.

Air sungai ini dinaikkan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar.

Air dari tempat penampungan kemudian dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya.

Bahkan, canggihnya lagi para pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi untuk mengairi lahan sawah. Pembagian air dilakukan bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar dan sehari ditutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual.

Dari pintu pengeluaran itu air kemudian dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan tanah. Sementara, untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikkan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual.

Selanjutnya, pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien. pur/R-1

Terobosan Cerdas Petani Bantul

Petani di Bantul, Yogyakarta berhasil membuat terobosan untuk mengairi tanamannya dengan menembangkan teknik irigasi kabut.Terobosan petani Daerah Istimewa Yogyakarta ini berupa inovasi penyiraman tanaman pertanian di lahan pasir melalui sistem irigasi kabut.

"Lahan pasir di pesisir merupakan lahan marjinal yang sebenarnya memiliki potensi tinggi dalam pengembangan pertanian. Namun selama ini selalu terkendala dalam masalah pengairannya," kata Ketua Kelompok Tani Manunggal, Sumarno, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, atas tantangan kondisi tersebut para petani dituntut untuk lebih kreatif dan menciptakan inovasi dalam mengembangkan sektor pertanian.

"Salah satu inovasi yang kami lakukan adalah irigasi kabut ini. Irigasi kabut yaitu sistem penyiraman tanaman dengan menggunakan air yang dipompa ke dalam pipa yang telah diberi titik-titik lubang kecil-kecil," katanya.

Sumarno mengatakan dengan teknologi irigasi kabut ini, petani tinggal membuka kran air, semua tanaman akan tersiram air secara merata sehingga cukup mudah dan praktis.

Ia mengatakan teknologi irigasi kabut ini akan terus dikembangkan yang juga kemudian diterapkan petani-petani lain karena bertani di lahan pasir saat ini menjadi penopang ekonomi masyarakat setempat.

Salah satu petani lahan pasir Subardjo mengatakan, pada dasarnya bercocok tanam di lahan pasir membutuhkan pengairan yang tepat dan efisien, untuk memperoleh suhu tanah antara 35 hingga 40 derajat.

Ia mengatakan sebelumnya petani di lahan pasir ini harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengambil air dari sumber, serta membutuhkan ketersediaan air sebanyak 400 galon per jam.

"Namun dengan irigasi kabut ini petani dapat menghemat sebanyak 60 persen serta tidak membutuhkan banyak tenaga dalam proses pengairan lahan," katanya. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top