Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Magnet Turistik Meditasi Bergerak

Foto : koran jakarta/aloysius widiatmaka
A   A   A   Pengaturan Font

Kekayaan budaya negeri ini selalu bisa menjadi daya pikat tak terperi bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Secara tidak langsung, inilah yang terjadi pada prosesi Perayaan Trisuci Waisak 2018 dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.

Meski diadakan tiap tahun sebagaimana kegiatan rutin peringatan hari besar umat Buddha, Trisuci Waisak, prosesi dari Candi Mendut ke Candi Borobudur tak pernah berkurang daya tariknya bagi wisatawan Nusantara dan internasional. Hal itu terlihat dalam parade Selasa (29/5) yang sangat penuh tampilan mengagumkan dari sisi budaya yang menjadi pemikat turistik.

Warga di sisi kiri-kanan jalan antusias menyaksikannya. Malahan, para wisatawan asing tak segan-segan ikut berjalan kaki dalam kondisi panas terik matahari yang menyengat.

Inilah puncak perayaan Waisak 2562 BE. Kendati terpaan sengat matahari ribuan umat Buddha dipimpin Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Siti Hartati Murdaya, tetap penuh semangat berjalan kaki sambil terus melantunkan puja bakti (doa). "Prosesi ini memang bermakna meditasi berjalan dan menjadi momen paling khusyuk," katanya. Proses kemarin luar biasa panas karena kirab mulai bergerak pukul 12.00. Jadi, matahari tengah terik-teriknya. Biasanya, parade dimulai pukul 15.00.

Menurutnya, manusia perlu terus menjaga kesadaran diri agar pikiran balance. Dengan demikian, tidak perlu memikirkan kejadian-kedian di luaran. Dengan meditasi, pikiran menjadi tenang. Ini akan menghilangkan segala kebencian, ego, kikir, serakah, dan kebodohan yang selalu mengiringi batin manusia. Sambil bermeditasi berjalan, umat merenungkan dan introspeksi diri akan makna hidup.

Meski sambil berjalan, semadi bergerak tetap khusuk. "Prosesi harus dilakukan dengan khidmat sambil membaca paritta memohon berkah," tambah Ketua Widyakasaba Walubi, Banthe Wongsin Labhiko Mahathera. Dalam prosesi juga terjadi perecikan oleh para bikhu dengan air yang diambil dari Umbul Jumprit, Temanggung. Air telah disemayamkan dan didoakan. Para bikhu terus memerciki sepanjang jalan kepada umat dan warga atau penonton.

Kembangkan Pluralitas

Umat Buddha memperlihatkan jiwa pluralis. Hal itu bisa dilihat dari kelompok-kelompok parade yang terdiri dari berbagai kultur yang dimiliki bangsa Indonesia, termasuk seni, dan hasil ladang. Bahkan, Pancasila dalam bentuk amat besar juga menjadi bagian prosesi. Tak lupa rombongan terdiri dari bendera Merah Putih. Semua ini makin penting ditampilkan karena sekarang makin banyak orang mencoba merobek-robek NKRI.

Pluralitas dalam peringatan Waisak kali ini juga sangat terlihat ketika umat Buddha membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar Candi Mendut yang menjalankan puasa menjelang berbuka. "Kita harus saling menghormati sesama untuk persatuan dan kesatuan. Kebetulan Waisak bertepatan dengan puasa, jadi kita berbagi untuk berbuka," kata salah satu panitia Perayaan Waisak 2018 Bante Pabhakaro.

Rombongan panitia lalu membagikan makanan kepada warga yang dijumpai, juga pasukan keamanan, petugas parkir, para pedagang, pejalan kaki, dan penonton. Ya, hendaknya perayaan keagamaan tidak sekadar ritus, tetapi juga harus dipraktikkan di lingkungan sekitar agar pesta juga dirasakan orang lain.

Coba setiap agama yang merayakan hari besar keagamaan juga mempraktikkan agar pestanya juga dirayakan sesama yang tak seagama, hidup akan begitu indah. Tak ada lagi orang saling curiga. Tak ada lagi merasa paling unggul dan terbenar. Semua adalah saudara. Pesta agama menjadi perayaan bersama. Agama hanya cara tiap orang memuja dan bersyukur kepada Tuhannya. Setiap manusia adalah citra paling istimewa dari Sang Pencipta. wid/G-1

Sempatkan Mencicipi Aneka Kuliner

Para wisatawan yang menyaksiksan berbagai kegiatan peringatan Waisak mesti menyempatkan diri mencicipi berbagai makanan yang tersaji di sekitar Candi Mendut dan Borobudur. Banyak resto atau tempat makan menarik untuk dicoba. Salah satunya "Dapoer Denok" yang sangat unik, hanya beberapa meter dari Candi Mendut.

Di sini disajikan makanan tradisional Jawa, seperti pecel, baceman, atau daun pepaya. "Namun, di sini unik. Makanan nomor dua. Orang lebih mengutamakan selfie daripada makan," kata pemiliknya, Wing Maharani. Maklum tempat makan yang dikemas kafe ini amat "lain". Di seluruh ruangan dipajang lukisan. Di empat dinding, langit-langit, dan setiap ruang ditempeli lukisan. Seakan ke mana pengunjung melangkah, ketemu lukisan. "Ini dulu bekas galeri," katanya.

Yang "paling" unik dari Denok ini, ruang salatnya dilengkapi lukisan-lukisan Kristiani, seperti Perjamuan Terakhir. "Seni itu melewati sekat-sekat," kata Wing saat ditanya alasannya. Ya, memang seni harusnya diperlakukan seperti ungkapan ibu dua anak dan istri Endro itu. Dapoer Denok juga mempertahankan kekhasan tradisionalnya seperti bentuk meja kursi atau tempat etalase makanan. Walau terhitung masih baru, resto ini telah banyak dipesan untuk acara buka bersama.

Wisatawan juga dapat menikmati makan di pinggir sawah. Tentu ini suasana yang banyak dicari warga kota-kota besar yang sudah sulit menemukan sawah di tempat tinggalnya. Jika ini yang diinginkan, turis bisa mencoba warung sawah "Mbak Ulfah" atau restoran Progosari. Di dua tempat makan ini, pegiat kuliner bisa benar-benar menikmati makanan dengan latar belakang persawahan yang sekarang ini tengah menghijau.

Ada pondok-pondok yang nyaman. Banyak rombongan wisatawan mampir makan di sini. Menunya lumanyan lengkap, di antaranya gurame bakar/goreng, petai bakar/goreng, dan ikan-ikan lain seperti mas dan nila. Ikan-ikannya segar karena tinggal nyerok di kolam. Sayurannya ada cah kangkung atau tumis sawi. Salah satu minumannya adalah jahe gula jawa. Lokasi dua tempat makan ini sekitar satu kilometer dari Candi Mendut arah Jl Raya Magelang-Yogyakarta.

Yang senang kuliner malam, ada bakmi godog atau goreng, serta tongseng goreng. "Bakmi godoknya nikmat," ujar seorang konsumen asal Pondok Gede, Bekasi, Eko. Menurut pegawai swasta ini, setiap ke acara Waisak, menyempatkan diri makan mi godok di pertigaan Mendut-Borobudur- Kantor Kabupaten Magelang tersebut. wid/G-1


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top