Lonjakan Utang dan Gejolak Pasar Perlu Diwaspadai
Hal itu mengakibatkan utang pemerintah meningkat signifikan. Jika pada 2019, rasio utang terhadap PDB 30,2 persen, maka pada 2020 meningkat menjadi 38,7 persen dan pada tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi 41,05 persen terhadap PDB.
"Melihat hal itu, reformasi dan konsolidasi fiskal harus dilakukan untuk memitigasi risiko fiskal ke depan," kata Wahyu.
Sementara rekannnya, Analis Kebijakan Ahli Muda BKF, Anggi Novianti, dalam kesempatan yang sama mengatakan pemulihan ekonomi Indonesia harus lebih cepat dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Hal itu untuk mengantisipasi fenomena tapper tantrum yang mana investor negara maju menarik diri dari RI untuk mengejar imbal hasil treasury yang lebih tinggi dan aman. Taper tantrum sendiri merupakan gejolak di pasar keuangan ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan.
Stimulus AS, jelasnya, sangat mempengaruhi pola perilaku investor di negara berkembang. Setelah AS mengeluarkan kebijakan moneter yang super-akomodatif, biasanya setelah itu negara ekonomi terbesar dunia itu akan melakukan normalisasi.
"Kendatipun AS mengatakan baru akan melakukan normalisasi pada 2022 atau 2023, namun para pelaku pasar justru membaca lain. Bisa saja, itu dilakukan lebih cepat yang mempengaruhi aliran modal asing di RI. Itulah yang perlu kita antisipasi, makanya pemulihan RI harus lebih cepat," kata Anggi.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya