Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesehatan Masyarakat

Lonjakan Kasus Campak akibat Cakupan Imunisasi Rendah

Foto : Koran Jakarta/Muhamad Marup

Direktur Pengelolaan Imunisasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Prima Hutapea

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Direktur Pengelolaan Imunisasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Prima Hutapea, menyebut, adanya lonjakan kasus campak beberapa waktu terakhir akibat cakupan imunisasi rendah. Hal tersebut masih dampak dari penurunan cakupan imunisasi akibat adanya Covid-19.

"Covid-19 berdampak pada cakupan imunisasi. Anak tanpa imunisasi kumpul dan berisiko tertular penyakit yang bisa dicegah imunisasi. Paling bahaya campak," ujar Prima dalam Konferensi Pers Penanganan Campak, di Jakarta, Jumat (20/1).

Prima menegaskan, pencegahan campak hanya bisa dilakukan melalui imunisasi. Untuk itu, solusi ke depan adalah meningkatkan jumlah imunisasi salah satunya melalui Bulan Imunisasi Nasional.

Dia menerangkan, imunisasi rutin campak diberikan tiga kali. Untuk bayi 9 bulan, bayi dua tahun 18 bulan, usia SD kelas 1 SD atau sederajat. "Imunisasi campak di sekolah kami bekerja sama dengan kementerian terkait mengeluarkan SKB Empat Menteri baru untuk imunisasi anak usia sekolah dasar harus diikuti semua anak di institusi pendidikan dan harus difasilitasi institusi pendidikan," jelasnya.

Prima mengungkapkan, untuk imunisasi tahap 1 provinsi luar Jawa dan Bali hanya mencapai 63,9 persen dari target 95 persen. Sedangkan di Jawa cakupannya cukup baik yaitu 98 persen. "Secara nasional untuk imunisasi campak rubella kita hanya mencapai 72,7 persen. Masih ada anak-anak yang belum mendapat kekebalan terhadap campak," katanya.

Baca Juga :
PEKAN IMUNISASI DUNIA

Dia menyebut, gejala campak adalah demam, batuk pilek, mata berair, dan bintik merah. Jika campak mengenai anak dengan gizi kurang, maka berpotensi komplikasi seperti diare, pneumonia, radang otak, infeksi selaput mata sampai bisa kebutaan, dan kematian.

"Bagi orang tua yang anaknya belum imunisasi, maka segera datang ke fasilitas kesehatan terdekat," tambahnya.

Prima menambahkan, sepanjang 2022 lalu sudah ada 12 provinsi mengeluarkan Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Pemda. Adapun dasar penetapan KLB yaitu minimal 2 kasus campak dan memiliki hubungan epidemiologi.

Dia menyebut, pada tahun 2022 kasus campak memang cukup banyak yaitu 3.342 kasus di 223 Kabupaten/Kota dan 31 Provinsi. Angka tersebut meningkat 32 kali lipat dibanding tahun 2021. "Sudah dua tahun berturut-turut 2020 dan 2021 tidak mencapai target layanan imunisasi rutin. Yang tidak diimunisasi menumpuk dan mempermudah penularan campak sehingga terjadi KLB," terangnya.

Prima menerangkan, pada tahun 2020 hingga 2021 tidak terjadi kenaikan signifikan. Hal ini karena cakupan vaksinasi selama 2018-2019 cukup bagus.

Dia mengungkapkan, selama tahun 2022 ada enam kasus meninggal akibat campak. Adanya peningkatan kasus ini menjadi tantangan tersendiri untuk mengeliminasi penyakit Campak di Indonesia pada tahun 2023 ini.

"Kita ingin eliminasi campak rubella agar tidak jadi masalah kesehatan masyarakat. Kita khawatirkan komplikasinya itu umumnya berat," tandasnya.

Sebelumnya, Kemenkes menyatakan KLB penyakit campak di Indonesia dilaporkan dari 31 provinsi di Indonesia hingga Desember 2022. "Jumlah kejadiannya sampai dengan Desember 2022 dilaporkan dari 31 provinsi. Pasiennya hampir di semua umur," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Penyakit campak disebabkan oleh virus yang dapat ditularkan melalui batuk dan bersin dari satu penderita ke orang lain. Kemenkes mengimbau agar masyarakat mewaspadai penyakit tersebut dengan memahami karakteristik gejala yang timbul pada pasien.

Ia mengatakan kasus saat ini meningkat sebesar 32 kali lipat dikarenakan cakupan imunisasi campak sepanjang kurun 2020-2022 tidak sesuai target.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top