Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Literasi Keuangan Syariah di Indonesia Masih Sangat Rendah

Foto : Istimewa

Literasi Keuangan Syariah bersama Jurnalis Ekonomi Syariah

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA- Kepala Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Ismail Riyadi mengatakan tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih sangat rendah.

"Kalau kita lihat survei OJK, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) yang selalu dilakukan selama tiga tahun, tahun 2022 misalnya, gap antara tingkat literasi keuangan secara keseluruhan adalah 49 persen, keuangan syariahnya 9,14 persen. Jadi masih ada gap sekitar 40 persen," kata Ismail dalam media workshop bersama Jurnalis Ekonomi Syariah (JES) yang disampaikan secara daring dari Jakarta, Sabtu (27/10).

Gap tersebut kata Ismail menunjukkan bahwa hanya ada 9 dari 100 orang yang benar-benar melakukan keuangan syariah.

Adapun tingkat inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12 persen, tertinggal jauh dari tingkat inklusi keuangan secara umum yang mencapai 85 persen.

Istilah Akad

Dia menilai ada sejumlah penyebab yang menyebabkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih rendah. Pertama, ialah pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah masih rendah kendati awareness terhadap keuangan syariah tinggi.

"Mungkin saya sering dengar kenapa istilahnya akad-akadnya (jenis akad bank syariah) masih bahasa Arab, meskipun semua industri keuangan sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Akadnya itu digunakan di belakang saat harus menjelaskan projek maupun menandatangani (perjanjian/kontrak) atau memahami (transaksi). Itu salah satu contoh," ungkap Ismail.

Penyebab kedua, ujar dia, terkait diferensiasi proses yang terjadi di dalam masyarakat ketika dihadapkan pada produk-produk keuangan syariah dan konvensional yang sejenis.

Perbedaan tersebut muncul, karena individu memiliki reaksi berbeda terhadap produk keuangan syariah dan konvensional. Ada yang menerima produk keuangan syariah dengan sifat yang lebih rasional (berdasarkan keyakinan agama), ada pula yang lebih setia (loyal) pada produk konvensional atau ada yang masih membandingkan produk syariah dengan produk konvensional.

Menurut dia, produk perbankan syariah memiliki banyak variasi dalam bentuk akad (perjanjian) yang digunakan jika dibandingkan dengan produk konvensional. Namun, tantangan yang harus diatasi adalah cara menghadapi perbedaan preferensi individu dan mendidik masyarakat tentang produk keuangan syariah untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah.

Ketiga yaitu kompetensi sumber daya insani di industri keuangan syariah yang harus ditingkatkan. Meskipun banyak perguruan tinggi dan lulusan ekonomi syariah, tetapi kebutuhan industri yang semakin tinggi menuntut pengembangan kapasitas sumber daya manusia di industri keuangan syariah, paparnya.

"Kemudian (penyebab selanjutnya) dari sisi produk dan layanan, pemanfaatan teknologinya belum optimal, serta aspek regulasi dan permodalan yang belum mendukung," katanya.

Indonesia katanya memiliki prospek pengembangan keuangan syariah yang baik terutama di era transformasi digital saat ini. Penguatan literasi keuangan syariah harus terus dilakukan melalui upaya yang kolaboratif dan komprehensif antar seluruh pemangku kepentingan.

"Upaya peningkatan tersebut perlu berkesinambungan dan mampu mengoptimalkan perkembangan teknologi digital sehingga dapat mempermudah dan memperluas akses keuangan syariah," kata Riyadi.

Praktisi Keuangan Syariah, Yuli Melati Suryaningrum dalam kesempatan yang sama mengatakan bertepatan dengan bulan Inklusi Keuangan yang berlangsung selama Oktober, ini, industri keuangan aktif melakukan edukasi ke berbagai segmen masyarakat.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Vitto Budi, Antara

Komentar

Komentar
()

Top