Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Legalisasi Ganja, Negara ASEAN Sebaiknya Tidak Mencontoh Thailand, Ini Alasannya

Foto : Nikkei Asia

Seoran pria mengenakan pakaian bermotif daun ganja untuk sebuah acara di pameran legalisasi ganja di Buriram, Thailand, pada 10 June.

A   A   A   Pengaturan Font

Kevin Zhang, ISEAS-Yusof Ishak Institute dan Siti Suhaila Harith

Thailand telah mencoba mendekriminalisasi penggunaan ganja sejak Juni 2022. Namun sampai hari ini, hampir setahun kemudian, negara tersebut masih belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi ganja atau produk mariyuana.

Di tengah ambiguitas hukum itu, industri ganja yang berkembang pesat telah memberikan implikasi signifikan bagi Thailand dan, lebih luas lagi, negara-negara di kawasan Asia Tenggara - yang sebagian besar menerapkan undang-undang antinarkoba terberat di dunia.

Langkah Thailand telah memicu kemungkinan bahwa negara-negara Asia Tenggara lainnya dapat segera mengikuti dan mengubah pendirian mereka terhadap ganja.

Politikus dari Malaysia dan Indonesia sempat mengumumkan bahwa pemerintah mereka masing-masing sedang mengevaluasi apakah memungkinkan untuk melegalkan ganja dalam penggunaan medis. Menteri Kesehatan Malaysia saat itu, Khairy Jamaluddin, bahkan mengunjungi Thailand dalam kunjungan kerja guna lebih memahami perihal ganja medis.

Meski demikian, Thailand belum bisa menjadi panutan terbaik bagi negara-negara Asia Tenggara yang ingin melegalkan ganja, terutama untuk tujuan medis. Kanada bisa menjadi referensi yang lebih baik daripada Thailand, karena pengalamannya yang panjang dalam melegalkan ganja medis - sejak awal 2000-an - dan regulasi yang jelas.

Ambiguitas Hukum

Sampai baru-baru ini, semua kepemilikan dan penggunaan ganja adalah ilegal di Thailand. Pada akhir 2018, pemerintah Thailand mengesahkan amandemen yang melegalkan ganja untuk penggunaan medis.

Setahun kemudian, pemerintah Thailand memperkenalkan undang-undang baru yang mengizinkan impor, produksi, dan distribusi ganja medis.

Namun, konsumsi ganja untuk rekreasi tetap merupakan pelanggaran yang dapat dihukum pidana. Pada 2022, Thailand secara mendadak mengubah kebijakannya, dengan menghapus semua bagian tanaman ganja dan tanaman rami dari kategori narkotika. Pemerintah juga melegalkan produk yang mengandung ganja, dengan syarat mengandung kadar tetrahydrocannabinol (THC) yang tidak melebihi 0,2%.

Pemerintah tidak hanya mendekriminalisasi penanaman ganja, tapi juga mendistribusikan satu juta tanaman ganja ke rumah tangga untuk dibudidayakan.

Otoritas kesehatan Thailand bersikeras bahwa pelegalan ganja medis tersebut bertujuan untuk mempromosikan manfaat ganja bagi pengobatan, kesehatan, dan ekonomi.

Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul menekankan bahwa ganja rekreasi tetap ilegal. Namun kenyataannya, Thailand pada dasarnya telah mendekriminalisasi ganja rekreasi.

Saat ini, hanya ada beberapa contoh penerapan aturan penjualan dan konsumsi ganja, seperti pelarangan konsumsi ganja di tempat umum atau oleh perempuan hamil.

Pemerintah sedikit demi sedikit kembali memperketat perlindungan terhadap penggunaan ganja hanya setelah ganja sudah didekriminalisasi dan tersedia di pasaran untuk dijual.

Konsekuensinya, tidak adanya undang-undang (UU) yang komprehensif untuk mengatur ganja telah menghasilkan zona hukum abu-abu, dengan sedikit pembatasan pada penggunaan, penjualan, dan budidaya produk ganja.

Menurut Senator Thailand Somchai Sawaengkarn, tidak adanya "UU khusus yang mengatur penggunaan ganja" telah membuat lembaga penegak hukum enggan menangkap individu yang melanggar peraturan.

Dampak pada Masyarakat Thailand

Karena kurangnya perlindungan dan pembatasan penggunaan ganja untuk rekreasi, toko yang menjual produk yang mengandung ganja semakin marak di Thailand sejak Juni 2022, mulai dari makanan dan minuman, bahkan perlengkapan mandi.

Daun ganja yang mengandung 35% THC, lebih dari seratus kali lipat melebihi ambang batas THC legal, dijual dan dikonsumsi secara terbuka di toko ganja.

Studi terbaru oleh para peneliti dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok menemukan bahwa lebih dari 30% minuman yang mengandung ganja - yang diambil sampelnya secara acak - mengandung THC yang melampaui batas legal.

Otoritas kesehatan Thailand memperkirakan jumlah masyarakat yang kecanduan ganja telah meningkat empat kali lipat dalam enam bulan terakhir, sejalan dengan peningkatan jumlah pasien dengan gangguan kesadaran dan masalah mental akibat konsumsi ganja.

Menanggapi meningkatnya laporan tentang efek samping dari konsumsi ganja, pemerintah Thailand sekarang berusaha untuk memperketat peraturan ganja.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah berusaha untuk membahas rancangan undang-undang (RUU) ganja di parlemen. RUU tersebut telah memicu debat publik dan protes, baik dari yang mendukung maupun yang menentang, langkah untuk melegalkan ganja rekreasi.

Mengingat sikap sosial yang terpolarisasi terhadap ganja ini, tidak heran jika parlemen masih gagal meloloskan RUU ganja yang kontroversial.

Sementara pemerintah telah berjanji untuk segera menyelesaikan RUU yang direvisi untuk memberi kejelasan atas status hukum ganja rekreasi dan memberikan perlindungan hukum, masih belum ada agenda yang jelas terkait hal ini. Parlemen Thailand baru-baru ini justru dibubarkan untuk memberi jalan bagi pemilihan umum yang dijadwalkan pada Mei. Ketidakjelasan hukum ganja rekreasi sepertinya tidak akan terselesaikan dalam waktu dekat.

Kontrol Kanada terhadap Ganja Medis

Jangka waktu singkat yang hanya empat tahun sejak legalisasi ganja medis bisa dibilang berkontribusi pada kurangnya keahlian di antara pejabat kesehatan untuk merumuskan mekanisme hukum yang kuat dan dapat mencegah penyalahgunaan ganja.

Mengingat celah hukum terkait ganja di Thailand, Kanada dapat menjadi contoh studi kasus yang lebih baik bagi negara-negara Asia Tenggara yang ingin meliberalisasi aturan narkoba mereka.

Meskipun Kanada telah melegalkan ganja rekreasi sejak 2018, apa yang terjadi sebelum tahun tersebut bisa menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara yang kini tengah berusaha untuk melegalkan ganja medis.

Hingga 2018, untuk mencegah konsumsi ganja rekreasional, masyarakat di Kanada diwajibkan untuk mendapatkan "dokumen medis" dari praktisi medis yang terkualifikasi sebelum diizinkan membeli ganja untuk keperluan medis.

Dokumen medis tersebut mirip dengan resep obat dari dokter. Biasanya mencakup nama pasien, tanggal lahir, informasi dokter, dosis harian, dan lama penggunaan.

Jika pasien memiliki ganja medis ketika dokumen medisnya sudah kadaluwarsa, mereka dapat dituntut pidana.

Selain itu, warga Kanada hanya dapat membeli ganja medis dari produsen yang disetujui oleh Health Canada, departemen yang bertanggung jawab atas kebijakan kesehatan negara tersebut.

Peraturan yang berlaku saat itu mengamanatkan produsen berlisensi untuk menerapkan keamanan dan kontrol inventaris untuk mencegah penggunaan oleh pihak yang tidak membutuhkan dan berkepentingan. Praktik produksi yang baik juga dilakukan untuk memastikan bahwa ganja yang akan dikonsumsi lolos kontrol kualitas sebelum disalurkan untuk tujuan medis.

Dengan aturan lisensi ganja yang begitu ketat, Kanada lebih berhasil dalam mengatur ganja medis. Jadi, untuk negara-negara yang hendak mengeksplorasi legalisasi ganja medis, Kanada bisa menjadi panutan yang lebih baik daripada Thailand.The Conversation

Kevin Zhang, Senior Research Officer, ISEAS-Yusof Ishak Institute dan Siti Suhaila Harith, Research Intern, ISEAS-Yusof-Ishak Institute

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top