Latih Anak Sejak Dini untuk Berpikir Komputasional
Ilustrasi Anak melakukan coding Komputer
Foto: istimewaJAKARTA - Anak perlu dilatih untuk 'berpikir' secara komputer atau komputasional. Caranya dengan mempraktikkan pembelajaran kecerdasan buatan (AI) sejak dini. Pernyataan ini disampaikan pakar AI Lembaga Artificial Intelligence Center Indonesia (AICI), Dr Baiq Hana Susanti, di Jakarta, Kamis (30/9).
"Dengan pembelajaran AI sejak dini, anak dapat berpikir komputasional, cara berpikir yang logis, kritis, dan analitik. Dengan belajar AI, anak-anak terbiasa dengan cara berpikir seperti itu," ujar Baiq. Dia menambahkan, pembelajaran AI berbeda dengan robotic. Dalam pembelajaran AI yang dikembangkan adalah cara berpikir. Sedangkan pada robotik yang dikembangkan adalah produk.
Pembelajaran AI sejak dini, lanjut dia, juga dapat melatih kemampuan teknis maupun nonteknis. Hal itu dikarenakan anak tidak hanya diajarkan untuk berpikir, tapi juga merakit. Untuk jenjang pendidikan dasar, pembelajaran AI dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Baru kemudian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenalkan bahasa pemprograman.
Gangguan Psikologis
Sementara itu, orang tua tetap harus memperhatikan anak secara seksama saat belajar AI maupun yang lain, terutama kondisi psikologis. Hal ini menurut psikolog Yayasan Heart of People.id, Yohana Theresia MPsi, untuk mengetahui, ada tidaknya gangguan psikologis pada diri anak.
"Para orang tua perlu mewaspadai gangguan psikologis pada anak akibat pandemi Covid-19," katanya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustina, Verauli, dan Tirta pada 2020, misalnya, ditengarai adanya peningkatan permasalahan perilaku dan problem akibat paparan stres saat pandemi.
Menurutnya, ada beberapa masalah yang timbul akibat gangguan psikologis anak. Di antaranya, menarik diri dari keramaian, gangguan somatik atau somatic symptom disorder (munculnya gejala dari tubuh akibat kecemasan berlebihan), agresif, dan depresi. Kondisi itu dikarenakan beberapa faktor pencetus. Antara lain, ruang bergerak terbatas, pendidikan berkualitas yang belum merata, orang tua sibuk, serta kondisi psikologi tidak stabil.
"Maka timbul cara instan yang banyak diambil orang tua untuk mengatasi dengan memberi gawai kepada anak. Padahal pemberian gawai bukannya tanpa dampak," tambah dia.
Beberapa efek negatif gawai: kesehatan fisik menurun, terlambat bicara, dan tidak atentif. Kemudian soal konsentrasi, masalah pada executive function, serta perilaku. Untuk itu, Yohana menyarankan kepada orang tua agar cerdas memilih bentuk permainan yang cocok untuk anak berdasarkan umur dan kebutuhan.
Permainan yang tepat juga sangat berguna untuk mendorong kreativitas anak.
Redaktur: Aloysius Widiyatmaka
Penulis: Antara, Muhamad Ma'rup
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 3 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 4 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 5 Tak Tinggal Diam, Khofifah Canangkan Platform Digital untuk Selamatkan Pedagang Grosir dan Pasar Tradisional