Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kue Kampung Legendaris Surabaya

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Kampung adalah sekumpulan tempat tinggal atau rumah milik sejumlah keluarga di suatu daerah. Umumnya istilah kampung banyak digunakan untuk pemukiman masyarakat kelas menengah ke bawah di perkotaan.

Sebagai metropolitan yang telah berumur 724 tahun, Surabaya masih banyak memiliki kampung lawas yang ada bertebaran di seluruh wilayah kota itu.

Potret budaya warga asli Surabaya sebagai daerah yang memiliki sejarah panjang sejak zaman Keraton Mataram hingga masa pendudukan Belanda, dengan mudah dapat kita jumpai di dalamnya, mulai dari bangunan cagar budaya yang sarat nilai perjuangan, kebiasan masyarakat, dialek bahasa, hingga menu-menu asli khas 'kampung lawas Suroboyo'.

Martabak Kampung

Kangen merasakan jajanan tempo dulu Suroboyo ? Salah satu menu lawas yang layak dicari dan masih bisa ditemukan adalah Martabak Kampung. Martabak yang dalam bahasa Arab berarti "terlipat" merupakan menu jajanan yang telah biasa kita jumpai di mana saja.

Di Indonesia ada dua jenis martabak, yaitu martabak asin atau telur, serta martabak manis atau dikenal juga dengan "terang bulan".

Meski sama-sama gurih, martabak kampung sedikit berbeda dengan martabak asin yang dijajakan dengan gerobak beroda, biasanya berdampingan dengan penjual terang bulan.

Umumnya martabak kampung dijual oleh kaum ibu yang merupakan penghuni asli kampung itu untuk menambah pemasukan ekonomi keluarga. Mereka membuka lapak sederhana di depan rumah masing-masing atau di mulut gang, dan yang menjadi pembeli kebanyakan adalah tetangga sendiri atau warga sekitar.

Sementara dari tampilan makanan, bentuk martabak kampung lebih sederhana, terlipat segitiga dengan bagian tengahnya yang berisi lebih menonjol. Soal rasa juga agak berbeda karena jenis martabak ini menyertakan bahan-bahan lain seperti, mihun, wortel dan dimakan dengan petis udang.

"Selain bahan isiannya yang berbeda, adonan martabak kampung tidak mengandung telur dan digoreng tanpa campuran minyak minyak samin," kata penjual martabak kampung di Klimbungan Gang I, Umiati.

Meski berbahan seadanya, rasa masakan wanita yang berjualan sejak masa remaja ini tidak sedehana. Hingga sekarang Umiati yang masih setia menggunakan resep asli Sang Ibu, Misiati, yang telah memulai usaha itu sejak 1970-an.

Bahan daging "tetelan" yang menjadi isian martabak, banyak mengandung tulang muda. Tetelan adalah potongan daging sapi berupa campuran daging, urat, lemak dan lainnya yang merupakan sisa daging dikelupas dari tulang. Sehingga saat digigit akan terasa tekstur daging yang kenyal-kenyal empuk, bercampur gurih khas daging sapi.

Pembeli juga akan merasakan sensasi pedas martabak kampung yang unik, bila umumnya unsur pedas jajanan ini kita dapatkan dari cocolan petis udang yang bercampur cabai, atau dimakan bersama cabai hijau. Bu Umi menyertakan sambal sangraian ke dalam martabak kampungnya yang punya sensasi pedas kecut yang khas, menyentak tapi tetap menyatu dengan campuran bihun, bawang prey dan dagingnya.

Selain itu seperti juga martabak kampung lain, gurih sajian ini cenderung tidak eneg, karena adonan tidak mengandung telur dan digoreng tanpa minyak samin.

Umiati menjajakan menu andalannya yang murah meriah hanya 2 ribu per potong ini setiap hari sejak pukul 10 siang hingga pukul 3 sore.

Bagi kulinerista yang tertarik "bereuni" dengan martabak kampung Suroboyo, dapat mengunjungi Bu Umi yang menggelar daganganny di tepi Jalan Undaan Kulon (mulut Jalan Klimbungan Gang I).

Pembeli juga bisa memesan varian martabak kampung tanpa mie dan mihun, yang dagingnya lebih terasa. Rasakan sensasi mengudap panasnya martabak kampung yang baru "dientas" (dikeluarkan) dari penggorengan sambil menyaksikan aktivitas warga yang hilir mudik.

Untuk minuman, tersedia teh hangat yang dijual di warung nasi sebelahnya. Bagi yang ingin merasakan minuman segar ditengah teriknya cuaca "Kota Pahlawan", bisa mampir ke penjual es tebu asli yang terletak tidak jauh sebelum lapak Bu Umi.

Rangin Pengampon

Satu lagi jajanan tempo dulu Surabaya yang wajib dicoba, kue rangin. Rangin atau gandos adalah jajanan khas yang dapat ditemukan di berbagai Jawa.

Masyarakat Jakarta mengenal kue dengan bahan utama kelapa ini dengan sebutan kue pancong, orang Bandung menyebutnya bandros, orang Bojonegoro mengatakan tratak jaran, dan orang Bali memberi nama daluman. Perbedaan sederhana antara Rangin dengan pancong adalah pada dimensi ukuran kue rangin yang lebih kecil.

Penjual rangin biasa memanggul dagangan dengan cetakan masak loyang biasanya berkeliling di kampung dengan gang-gang kecil, atau menjajakan dagangannya di depan sekolah dasar. Karena mobilitas penjual yang tak tentu dan jarang dijumpai, penggemar kue yang terbuat dari adonan tepung beras dicampur santan kelapa ini mulai sulit ditemukan. di Surabaya.

Salah satu penjual kue rangin yang masih eksis di Surabaya adalah Rangin Pengampon yang ada Kampung Pengampon di Keluaran Peneleh, Kecamatan Genteng. Adalah Novem, 33 tahun, warga asli Pengampon yang sejak remaja telah setia berjualan rangin, tepatnya di mulut Pengampon Gang 2.

Setiap pagi hingga sore pria ramah ini tampak sibuk memasak sekaligus melayani pembeli. Dengan cekatan, tangannya membolak-balik adonan rangin di loyang yang tak sampai lima menit sudah berpindah ke tangan pembelinya yang datang dari berbagai kalangan.

"Selain dari sekitar Surabaya, beberapa pelanggan ada yang dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Singapura dan lainnya. Umumnya mereka berasal dari Surabaya tapi sudah lama tinggal di luar, membeli untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh," tutur Novem.

Meski merupakan kelanjutan usaha sang ayah, Mustar, 67 tahun, yang sejak 1973 berkeliling Surabaya dengan rombong pikulan, Novem memberikan sentuhan khas pada kue ranginnya.

Selain menjual rangin asli dengan rasa orisinal yang gurih dengan sedikit gula, pembeli juga bisa mencoba aneka pilihan rasa baru yang menggoda seperti rangin keju, rangin coklat keju, dan rangin coklat kacang.

Rasa rangin orisinal paling banyak dipesan, terutama oleh pennggemar yang sudah 'kebelet saking kangennya' dengan cita rasa asli kue tradisional ini. Kelapanya begitu terasa dengan sentuhan sedikit rasa manis, serta sensasi "crunchy" dari lapisan luarnya yang kering dan gurih.

Begitu juga dengan pilihan lain seperti keju, coklat, atau kacang, topping nya terasa menyatu pas dengan adonan kelapanya. Apalagi kalau dimakan saat baru selesai dimasak, meski adonan kelapanya terasa panas dilidah, namun mulut seperti tak ingin berhenti mengunyah saking nikmatnya. Sensasi jajan di kampung lawas makin seru dengan seruputan teh atau kopi panas sambil menyantap kue rangin.

Bagi yang berminat, sebaiknya datang sebelum pukul 14.00 agar tidak kehabisan. Cukup dengan bekal 12 ribu rupiah, kita bisa membawa pulang satu kotak rangin berisi 15 kue. Sementara untuk pembeli yang kehabisan, bisa mencoba datang ke Jalan Waspada, yang pada malam hari salah satu kerabat Novem juga berdagang Kue Rangin di samping warung Nasi Cumi. SB/E-6

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top