Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kudeta di Myanmar Makin Lupakan Ancaman Konflik Antaretnis

Foto : AFP

Protes Kudeta l Warga di Yangon melakukan protes atas terjadinya kudeta militer di Myanmar pada Rabu (3/2) malam lalu. Sejumlah pakar menyatakan bahwa dengan kembali berkuasanya militer, maka diprediksi akan semakin mempercepat eskalasi konflik antaretnis di Myanmar.

A   A   A   Pengaturan Font

KUDETA militer telah mengaburkan perspektif damai dengan kelompok pemberontak etnis di Myanmar. Sebagian kelompok mengecam, yang lain memilih diam. Kembalinya pemerintahan junta diprediksi bakal mempercepat eskalasi konflik antaretnis ini.
Saat ini sebanyak 20 kelompok pemberontak etnis di Myanmar berperang melawan militer demi hak otonomi khusus bagi wilayah perbatasan terluar Myanmar. Perang saudara DI Myanmar berkecamuk di Negara Bagian Shan, Kachin, Karen dan Rakhine.
Myanmar adalah sebuah negara multietnis yang didominasi etnis Bamar. Mereka mewakili hampir 70 persen populasi penduduk, dan mendiami wilayah paling subur di Myanmar di sekitar Sungai Irrawaddy.
Jatuhnya pemerintahan sipil di Myanmar dikhawatirkan bakal menghentikan tren desentralisasi dan mengakhiri proses damai yang rapuh. Sejak 1949, pemerintah pusat Myanmar terlilit dalam perang tanpa henti dengan berbagai kelompok etnis di seluruh penjuru negeri.
Kebanyakan menuntut otonomi luas, seperti yang dijanjikan ayahanda Aung San Suu Kyi yaitu Jenderal Aung San, dalam Perjanjian Panglong 1947, yang menyepakati sistem pemerintahan federal dengan hak penuh bagi etnis minoritas. Aung San dibunuh tidak lama setelah membubuhkan tanda tangannya.
Selama puluhan tahun setelahnya, kekuasaan para jendral membuahkan beragam catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, mulai dari pembunuhan ekstrayudisial, pemerkosaan massal atau pemusnahan desa-desa penduduk.
"Ketika militer Myanmar datang, warga etnik Shan, Kachin, Mon, Karen dan lainnya akan lari ke hutan," kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Asia. "Kejahatan terhadap warga etnis oleh militer menyebar luas, sistematis dan dilakukan dengan impunitas," imbuh Robertson.
Saat proses demokratisasi dimulai 2011 silam, sejumlah kelompok menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Pada 2015, tokoh-tokoh etnis minoritas dan pemerintah sipil menyepakati perjanjian gencatan senjata nasional. Di tahun yang sama, kelompok-kelompok etnis Myanmar menggelar konferensi damai untuk mengenang Perjanjian Panglong.
Tapi damai yang digalang pemerintah sipil gagal menghentikan militer untuk melanjutkan pertempuran melawan pemberontak. Pada 2018, Tim Pencari Fakta PBB menulis laporan yang mencatat kekejaman tentara di kelompok etnis minoritas di tiga negara bagian.
"Selama operasi militer, Tatmadaw (militer) secara sistematis membidik warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, melakukan kejahatan seksual, menyuarakan dan mempromosikan retorika ekslusif dan diskriminatif melawan minoritas, serta membangun iklim impunitas bagi para tentara," kata Marzuki Darusman yang mengepalai tim tersebut.
PBB juga mencatat kejahatan HAM yang dilakukan kelompok pemberontak, seperti pembunuhan ekstrayudisial, kegagalan mengambil langkah persiapan untuk melindungi warga sipil dalam serangan militer, menghancurkan properti, memindahkan paksa warga sipil, dan pelanggaran lain.
Namun kekejian terbesar terjadi di Negara Bagian Rakhine, di mana operasi brutal Tatmadaw antara 2017 dan 2018 menewaskan 28.000 warga etnis Rohingya, dan mengusir 700.000 lainnya yang lari ke Bangladesh. PBB mencatat operasi tersebut dilancarkan dengan itikad genosida.

Reaksi Etnis Minoritas
Sejak memenangkan pemilu November silam, Aung San Suu Kyi sebenarnya sudah menegaskan niatnya melanjutkan upaya perdamaian. Tapi kudeta militer berpotensi memupus kepercayaan yang rapuh.
Uni Karen Nasional, salah satu kelompok etnis bersenjata paling tua di Myanmar, menerbitkan pernyataan yang menuntut pembebasan tokoh politik yang ditahan. Mereka juga mendesak tentara menyelesaikan kebuntuan politik secara damai. Sementara beberapa kelompok besar lain memilih diam, termasuk Aliansi Utara, sebuah gabungan empat kelompok bersenjata yang terlibat dalam konflik paling sengit dengan militer.
Pakar meyakini militer harus menunggu sampai kisruh yang dipicu kudeta sedikit mereda. Namun visi yang dimiliki para jendral diyakini berbeda dengan apa yang didambakan etnis minoritas di Myanmar.
"Saya kira tindakan mereka dalam jangka waktu menengah dan panjang tidak akan menciptakan situasi yang kondusif bagi kesepakatan politik yang didambakan dan diperjuangkan etnis minoritas Myanmar selama 60 tahun terakhir," kata Ronan Lee, peneliti Myanmar di Queen Mary University di London. "Kudeta ini adalah kabar buruk bagi proses perundingan damai," pungkas dia.
SB/DW/Rtr/AP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top