Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 09 Okt 2020, 06:30 WIB

Kriteria Penerima LPG Bersubsidi dan Definisi Masyarakat Miskin Tidak Jelas

Foto: Foto: Istimewa

Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG, nilai subsidi justru meningkat menjadi 58,14 trilliun rupiah. Tentunya, ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara.

Data per 2018 penerima subsidi terdiri atas: 50 juta rumah tangga; 2,29 juta usaha mikro; dan 47.554 nelayan. Serta, distribusi paket pada rentang 2007-2018 untuk tiga kelompok penerima subsidi tersebut mencapai 57,65 juta paket.

KPK melakukan kajian sistem tata kelola program LPG 3 kilogram, pada rentang bulan Januari hingga Juli 2019. Hasilnya, KPK menemukan tiga permasalahan dalam sistem tata kelola program pemerintah ini.

Untuk itu mengetahui hasil dari kajian tersebut, Koran Jakarta telah merangkum jawaban dari Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK, Ipi Maryati.

Alasan KPK melakukan kajian ini?

Kajian ini dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG bersubsidi, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi. Permasalahan yang ditemukan ada dalam aspek perencanaan, dan aspek pelaksanaan.

Terkait aspek perencanaan, yaitu tidak jelasnya kriteria pengguna LPG bersubsidi, tidak ada kriteria spesifik atau definisi masyarakat miskin penerima subsidi, tidak jelas jenis usaha mikro apa saja yang dimaksud yang bisa menerima subsidi, dan penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan.

Kemudian, tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi, yaitu usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi itu.

Pada tahun 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM.

Lalu, terkait aspek pelaksanaan, lemahnya sistem pengawasan distribusi, yaitu kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan, menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar, minimnya sanksi kepada agen oleh Pertamina, minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai.

Selanjutnya, lemahnya kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi, yaitu tidak ada ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET. Kementerian ESDM tidak mengevaluasi HET pemerintah daerah.

Agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya. Dinas Perdagangan Kab/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak, hanya bisa memberikan imbauan. Harga di pangkalan lebih tinggi dari HET dan HET tidak dievaluasi secara berkala.

Lalu, tidak operasionalnya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO), yaitu pembagian alokasi ditentukan oleh KESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan. Penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional.

Apa akibat dari temuan-temuan itu?

Kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan. Kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain. Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali. n yolanda permata putri syahtanjung/P-4

Redaktur: Khairil Huda

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.