Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

KPNas: Pencacahan Plastik Kena Imbas Harga Sampah Turun

Foto : Koran Jakarta/KPNas

Usaha pencacahan plastik Herman di Cikiwul, Bantargebang pada 2005.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Di sekitar TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu dan TPA Burangkeng, terdapat beberapa usaha pencacahan plastik. Ada yang bermodal kecil, bermodal besar dan sangat kuat, dan ada yang berasal dari pemulung.

Salah satu pemulung yang kini menjadi pelaku pencacahan plastik adalah Herman (72). Bersama keluarga ia tinggal di Kelurahan Cikiwul, Bantargebang. Rumah dan tempat usahanya berbatasan dengan pagar TPST Bantargebang.

"Saya dan Tim Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) menemui Pak Herman untuk mengetahui dampak usaha pencacahan plastik akibat penurunan harga sampah pada 1 Agustus 2023," kata Bagong Suyoto, Ketua KPNas, dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/8).

Bagong menceritakan, Herman menjadi pemulung pada 1970-an. Ketika itu pembuangan sampah masih acak-acakan di Cakung Cacing, Jakarta. Herman berpindah-pindah tempat, di pembuangan sampah Senen, Perumpung, Ancol, Cakung, juga pembuangan Kebon Jeruk.

"Dulu, awal-awal ada pembuangan sampah di DKI, masih acak-acakan. Saat itu belum disebut pemulung, tetapi gepeng (gelandangan dan pengemis). Gepeng sangat dimusuhi pemerintah DKI," kata Bagong.

Beberapa kisah dituangkan dalam buku "Pemulung Sang Pelopor 3R Sampah" yang ditulis Bagong bersama Tri Bangun L. Sony pada 2008.

"Saat itu kehidupan pemulung sangat sedih, dikejar-kejar terus. Tidak boleh mendirikan gubuk. Hanya malam hari kita mendirikan gubuk-gubukan dari keranjang ayam, bau tahi ayam. Kalau siang sudah dirobohkan. Besoknya lagi membuat gubuk lagi, begitu seterusnya," kata Herman.

Herman dan keluarganya pindah ke Bantargebang pada 1990. Ia masih memulung sampah dan tahu beberapa pabrik penerima sampah plastik. Ketika itu istrinya punya uang Rp3 juta. Ia jadikan modal untuk membeli barang. Lalu memasukannya ke pabrik Kapuk dan Bogor.

Pada 1990, harga sampah murah, semua murah, semua laku. Plastik "kresek" (HD), PET laku. Tahun 1986, plastik "keresek" mulai laku dikirim ke Cakung Jakarta.

"PE dari dulu tinggi, sampai sekarang. Plastik PE bersih Rp8.000-8.500/kg, kalau kotor Rp4.000/kg. Harga PE pernah mencapai Rp13.000-15.000/kg. Sekarang dijual dekat, di Bekasi. Kalau yang kotor ke Cina Depok," katanya.

Pengiriman plastik "kresek" pertama ke Kapuk, terbesar se-Asia. Selanjutnya ke Tangerang, Pandaan Jawa Timur, dan Bandung. Ketika belum ada pabrik biji plastik di Bantargebang, banyak truk besar dan truk gandeng mengangkut plastik kresek untuk dikirim ke beberapa kota tersebut.

Sekarang sudah ada belasan pabrik biji plastik di sekitar TPST Bantargebang, baru lima tahun terakhir. Seperti biji plastik plastik kresek, biji plastik emberan, pabrik karung, dll.

Herman fokus menjadi pelapak sejak 1986-2006. Sebetulnya, ia sudah menjadi pelaku pencacahan plastik sejak 2005. Boleh dibilang pelaku ekonomi sirkular. Usaha pencacahannya cukup maju, berbagai jenis plastik dicacah, seperti PET botol mineral, PP gelas, mainan, emberan, slofan, bekas kemasan minyak goreng, kemasan diterjen, klem, dll.

Mesin cacahannya tipe 21 ins standar. Pada 2008 harga mesin pencacah Rp30-40 juta. Pada 2019 naik menjadi Rp90-100 juta. Mesin penggeraknya 40 PK. Kapasitas produksinya 2-3 ton/hari, bisa lebih, tergantung jumlah palstik yang akan dicacah. Mesin pencacahan sangat handal dan memenuhi nilai keekonomian. Sehingga Herman bisa bangkit meningkatkan taraf hidup.

Ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam proses penggilingan plastik. Biaya pilah Rp1.000/kg, biaya giling/cacah Rp600/kg, susut 10 persen saat digiling, ongkos bongkar muat, bensin dan solar, air dan listrik.

Ketika barang dipilah, banyak sisa sampah yang tak punya nilai ekonomi alias tak laku jual. Sampah merupakan beban kerugian tenaga kerja, kerugian uang, dan menjadi beban lingkungan. Sampah itu mestinya menjadi tanggung jawab perusahan pembuat kemasan plastik tersebut.

Apa yang dialami Herman, pun dirasakan pencacah plastik lain di kawasan Bantargebang. Namun, dampak yang sangat besar dirasakan pemulung. Karena Herman hanya membeli barang dari pelapak, tidak bisa langsung pada pemulung.

Selisih yang diperoleh Herman antara Rp300-500/kg. Tetapi sekarang sulit. Dulu, ketika harga bagus dan stabil, Herman bisa mendapat Rp700-1.000/kg. Usahanya akan jalan bila masih dapat kelebihan Rp700-1.000/kg.

Dia melihat turunnya harga sampah karena ada bandar dan pabrikan bermodal besar yang menguasai bahan baku daur ulang. Mereka melakukan pembelian besar-besaran, dikumpulkan di gudang-gudangnya. Kegiatan itu semacam "monopoli" dan bisa memainkan harga.

Permainan pemodal besar, uangnya banyak dan sulit ditandingi. Sedang pelapak lain menyebut adanya impor bahan baku dan sampah dari luar negeri.

Dulu, Herman terbilang sukses, seperti yang ditulis Bagong Suyoto dalam Majalah Percik berjudul "Waste that Brings Blessing" pada 2006 dan "Upaya Pemulung Meningkatkan Martabat" pada 2008.

Sekarang, tampaknya usaha Herman menurun. Barangnya sedikit, pekerjanya hanya tiga atau empat orang. Harga sampah domestik yang turun draktis berimbas pada usaha Herman. Mungkin karena usianya sudah tua, sakit pernapasan, dan staminanya menurun.

Selama ini, usaha pencacahan plastik Herman kurang mendapat perhatian pemerintah. Ia ingin pemerintah memberi dukungan permodalan, teknologi, dan menjaga stabilitas harga. Dukungan modal lunak atau semacam insentif dari pemerintah seperti dimandatkan dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, bisa juga bantuan program corporate social responsibility (CSR) atau extended producer responsibility (EPR) perusahaan swasta.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top