KPK Minta Kepala Daerah Hindari Korupsi
ilustrasi penangkapan tersangka korupsi.
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program pencegahannya tidak henti-hentinya mengingatkan kepala daerah untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Menjelang penyelenggaraan Pilkada Serentak yang digelar 9 Desember 2020 lalu, lembaga antirasuah tersebut juga telah menggelar serangkaian kegiatan webinar pembekalan bagi peserta dan penyelenggara pilkada di 270 daerah.
KPK memberikan pemahaman, khususnya kepada calon kepala daerah tentang persoalan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang akuntabel dan bersih dari korupsi.
Melalui program "Pilkada Berintegritas", KPK juga telah menyampaikan potensi korupsi dan titik-titik rawan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk sejumlah kasus kepala daerah yang ditangani KPK.
Dengan program tersebut, KPK mengharapkan calon kepala daerah dapat menghindari risiko korupsi setelah terpilih dan menjabat.
Ketua KPK Firli Bahuri pun pernah mengatakan bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sebagai momentum membangun kesadaran budaya antikorupsi.
Harapan
Pelantikan 178 kepala daerah terpilih dari Pilkada 2020 telah digelar serentak pada 26 Februari 2021.
Kepala daerah yang dilantik yakni yang tidak menghadapi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) ditambah dengan daerah yang pengajuan sengketanya ditolak oleh MK.
Kemendagri pun menyatakan proses pelantikan 178 kepala daerah tersebut berjalan dengan lancar.
Kita semua juga mengharapkan nantinya para kepala daerah yang dilantik tersebut dapat menjalankan roda pemerintahannya dengan lancar dan tidak tergoda untuk berbuat korupsi.
Pasca pelantikan, KPK pun kembali mengharapkan para kepala daerah tersebut agar mewujudkan janji kampanyenya dengan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih demi memajukan daerahnya.
KPK juga mengingatkan para kepala daerah agar selalu memegang teguh integritas dan mengedepankan prinsip-prinsip "good governance" dalam menjalankan pemerintahannya.
Kepala daerah juga diingatkan tidak memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Sebaliknya, KPK berharap mereka menggunakan kewenangannya untuk menentukan kebijakan publik yang ditujukan untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat.
Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan lembaganya melalui program-program pencegahan, koordinasi, dan supervisi akan mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabel.
Salah satunya melalui implementasi delapan area intervensi sebagai fokus perbaikan meliputi sektor perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengadaan barang dan jasa, perizinan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Kemudian penguatan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), manajemen Aparatur Sipil Negra (ASN), optimalisasi pendapatan daerah, manajemen aset daerah, dan tata kelola dana desa.
Modus korupsi
Delapan area intervensi tersebut dipetakan berdasarkan pengalaman KPK dalam menangani tindak pidana korupsi dan merupakan titik rawan korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah.
Beberapa modus korupsi yang dilakukan kepala daerah tersebut antara lain terkait belanja daerah yang meliputi pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset hingga penempatan modal pemda di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pihak ketiga.
Selanjutnya, korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat, korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan, dan benturan kepentingan serta penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya.
KPK pun mengharapkan para kepala daerah tidak lagi mengulang praktik korupsi tersebut.
Berdasarkan catatan KPK, hingga Februari 2021 KPK telah menetapkan 126 kepala daerah sebagai tersangka yang terdiri dari 110 bupati/wali kota dan wakilnya serta 16 gubernur.
Jumlah itu belum termasuk Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah (NA) yang diumumkan sebagai tersangka pada 28 Februari 2021 karena diduga terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama Edy Rahmat (ER) selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel atau orang kepercayaan Nurdin dan Agung Sucipto (AS) selaku kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB).
Nurdin diduga menerima total Rp5,4 miliar dengan rincian pada 26 Februari 2021 menerima Rp2 miliar yang diserahkan melalui Edy dari Agung.
Selain itu, Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain diantaranya pada akhir 2020 Nurdin menerima uang sebesar Rp200 juta, pertengahan Februari 2021 Nurdin melalui ajudannya bernama Samsul Bahri menerima uang Rp1 miliar, dan awal Februari 2021 Nurdin melalui Samsul Bahri menerima uang Rp2,2 miliar.
Belajar dari kasus Nurdin tersebut, KPK mendalami dugaan korupsi yang dilakukannya untuk membayar utang dana kampanye.
"Biar itu menjadi tugas penyidik untuk mendalami uang itu untuk apa saja, apakah misalnya lari karena biaya kampanyenya sangat besar dia dapat sponsor dari pengusaha lokal setempat," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Nurdin diduga memberikan kontrak proyek kepada rekanan yang mendukungnya atau pernah menjadi tim kampanyenya saat pencalonannya sebagai Gubernur Sulsel.
Temuan survei KPK pada 2018 mencatat 83,8 persen calon kepala daerah berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan pilkada.
Sedangkan dari pihak donatur, sebagaimana temuan survei pada 2018 memperlihatkan 95,4 persen donatur yang menyumbang tersebut mengharapkan dapat kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, 90,7 persen dipermudah untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa).
Kemudian, 84,8 persen mendapatkan keamanan dalam menjalankan bisnis yang saat ini masih ada, 81,5 persen mendapatkan kemudahan akses bagi donatur/kolega untuk menjabat di pemda/BUMD, 72,2 persen mendapat kemudahan akses dalam menentukan kebijakan/peraturan daerah, 62,3 persen mendapatkan prioritas bantuan langsung, dan 56,3 persen mendapatkan prioritas dana bantuan sosial/hibah APBD.
Dari kasus Nurdin pula, meskipun yang bersangkutan pernah menerima penghargaan antikorupsi juga tidak menjamin tidak akan melakukan korupsi.
Pada 2017, Nurdin yang saat itu menjabat Bupati Bantaeng, Sulsel menerima penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).
Ketua KPK pun merespons bahwa setiap orang mempunyai kerentanan untuk melakukan korupsi sekalipun telah menerima penghargaan antikorupsi.
Alasannya kata dia karena perbuatan korupsi adalah bertemunya kekuasaan dan kesempatan serta berkurangnya integritas yang dimiliki seorang pejabat.
Masyarakat butuh kepala daerah dengan kerja nyatanya bukan hanya obral janji tentu juga tidak melanggar rambu-rambu terkait korupsi dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika dilanggar, KPK akan turun tangan dan siap menindak tegas.
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya