Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Korupsi Marak Sedikit-Banyak Bukti Kegagalan Pendidikan

Foto : Istimewa

Kampus harus hasilkan lulusan berintegritas tinggi

A   A   A   Pengaturan Font

Korupsi menjadi horor negeri ini karena dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan semakin menurun, tetapi cenderung menggurita. Dengan berbagai cara, para pejabat mengambil yang bukan haknya. Korupsi di setiap lembaga juga tidak berkurang, walau dalam setiap pengangkatan pejabat selalu diadakan ikrar "Pakta Integritas" dan sumpah jabatan.
Pakta integritas tinggal tetap sebuah kertas. Sumpah jabatan juga tinggal di kertas, setelah pejabat diminta mengikuti ucapan "tidak menerima apa pun" dalam acara pelantikan pejabat (sumpah jabatan). Begitu lepas acara meriah pelantikan, ketika pejabat mulai bekerja di ruangan, pikiran bagaimana mempercepat diri menjadi kaya, mulai menggeluti benaknya. Apalagi anggota dewan/legislatif baik pusat maupun daerah. Mereka harus berpikir untuk mengembalikan pengeluaran setelah meraih posisi.
Inilah yang akhirnya membawa kita ke pertanyaan, mengapa banyak pejabat negara yang berpendidikan tinggi, sampai bergelar doktor dari universitas terbaik luar negeri, tetap korup? Banyak pertanyaan lain, mengapa pendidikan yang sedemikian baik (tinggi) tidak menghasilkan manusia yang mempunyai moral tinggi untuk mengedepankan kepentingan suatu bangsa dan jutaan rakyatnya?
Jawabannya, kecerdasan seseorang saja tidak cukup tanpa dibarengi moral tinggi. Kepandaian tanpa moral dan etika, tidak akan memiliki manfaat bagi bangsa. Tak heran, bila seorang rektor perguruan tinggi negeri di Lampung pun terjerat korupsi. Orang korup jelaslah berpendidikan tinggi. Orang bodoh tidak korup karena tidak bisa berpikir dengan tinggi dan jelimet. Sebab untuk korupsi harus berpikir jelimet agar tidak ketahuan (walau barang "busuk" akan selalu terungkap).
Jadi, untuk apa berpendidikan tinggi kalau toh akhirnya korup? Sesungguhnya pertanyaan yang jauh lebih substantif adalah: bagaimana sistem pendidikan nasional sehingga begitu banyak orang terdidik (menteri, dirjen, jenderal, direktur utama, dst) jatuh ke dalam tindak korupsi? Ini karena pendidikan hanya mengandalkan hasil atau angka-angka. Budi pekerti, akhlak, moral, budi luhur, dan kejujuran, sangat sedikit digeluti dunia pendidikan.

Van Lith
Tanpa bermaksud mengecilkan pendidik-pendidik bagus lainnya, dulu ada orang dikenal dengan nama Van Lith. Dia boleh dibilang pendidik sejati untuk rakyat Indonesia. Walau berdarah Belanda, hati, budi, serta pikirannya tercurah untuk memintarkan bangsa Indonesia. Romo Van Lith melahirkan lulusan didikannya dengan tingkat moral tinggi. Fokus dia adalah melahirkan guru. Sebab dari gurulah akan dilahirkan jutaan anak didik. Maka, untuk melahirkan anak didik yang baik, kunci utama adalah guru yang baik pula. Maka, lahirlah guru-guru dengan integritas moral tinggi dari pendidikan Romo Van Lith.
Jadi, tantangan pendidikan harus dapat mengembalikan kemampuan melahirkan lulusan dengan integritas tinggi seperti dirintis Romo Van Lith. Sebab, lulusan tanpa integritas tinggi, apa pun gelarnya: entah doktor atau profesor tetap akan jatuh ke dalam korupsi di mana pun posisi jabatan mereka: kampus atau birokrasi.
Sungguh memprihatinkan kalau para doktor jatuh ke dalam korupsi, perselingkuhan, dan tak mampu mengontrol nafsu, sehingga melecehkan mahasiswinya. Ini akan mengubah peta karakter para pendidik. Pendidikan yang mestinya menjadi zona steril dari: koruptif, pelecehan, nafsu, dan perselingkuhan, kini sudah tercemar. Inilah kemunduran dunia pendidikan nasional.
Kondisi seperti itu akan berujung pada kepentingan pribadi tanpa mempedulikan apakah kepandaian itu untuk kebaikan atau kejahatan, untuk menindas atau memperalat orang lain. Sekali lagi, korupsi negara ini memang tak pernah reda. Malahan dari waktu ke waktu selalu meningkat, meluas, dan mendalam. Untuk memberantasnya, banyak rezim mendirikan atau membentuk komisi, satuan tugas, atau lembaga pemberantasan korupsi. Bahkan lembaga seperti itu sudah ada pada Orde Lama seperti Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) saat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dengan Ketua Jenderal AH Nasution.
Kemudian, Nasution membentuk Operasi Budhi tahun 1963 untuk menyelamatkan BUMN dan lembaga negara yang rawan korupsi. Awal Soeharto memimpin negeri ini dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. TPK gagal total (gatot) juga seperti lembaga sebelumnya. Berikutnya adalah Komisi Empat (KE). Lembaga yang diketuai M Hatta ini antara lain membidik Pertamina. Tapi, KE juga gagal membawa pucuk Pertamina, Ibnu Sutowo, ke meja hijau.
Pada 1971, pemerintah dan DPR melahirkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu, untuk implementasi dibentuklah Operasi Tertib (Opstib). Meski di bawah Sudomo, Opstib "gatot" juga karena korupsi Orba terstruktur dan para pemainnya akrab dengan rezim. Lalu, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk Abdurrahman Wahid.
Kemudian, Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sekarang masih eksis. Berbagai lembaga antikorupsi tadi dibentuk karena kegagalan Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memberantas korupsi. Tapi sekarang, KPK dipimpin polisi. Jadi, sepertinya pemberantasan korupsi muter saja, tidak banyak menghasilkan produk. Sebab, kuncinya bukan banyaknya institusi pemberantasan korupsi, tetapi pribadi berintegritas tinggi hasil (lulusan) pendidikan nasional.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top