Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian I Nilai Tukar Petani Perkebunan Rakyat Turun Paling Tajam yakni 2,30%

Koperasi Petani Harus Diperkuat Melawan Korporatokrasi

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Perkebunan rakyat terpukul karena aksesibilitas ke negara lain lebih ketat.

» Harga makin turun karena hasil panen melimpah, sedangkan konsumsi turun.

JAKARTA - Salah satu penyebab petani menderita kerugian karena lemahnya institusi yang menyuarakan nasib mereka. Akibatnya, berbagai kebijakan pemerintah sekalipun belum mencerminkan keberpihakan kepada nasib para petani, terutama dalam meningkatkan kesejahteraannya melalui kenaikan pendapatan.

Peneliti Pusat Kajian Studi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Awan Santosa, kepada Koran Jakarta, Senin (8/6), mengatakan bahwa koperasi petani sebenarnya bisa menjadi wadah yang menyuarakan kepentingan petani. Jika diperkuat, malah bisa mengalahkan korporatokrasi. Korporatokrasi merupakan segelintir perusahaan yang mendominasi, mengimpor barang dengan harga murah, lalu melepas ke pasar.

"Koperasi bisa menciptakan kemandirian ekonomi. Itu yang dilakukan negara maju di Skandinavia seperti Denmark dan Norwegia," kata Awan.

Demikian juga di Jepang, satu konferedersi (gabungan koperasi) masuk dalam sepuluh besar koperasi terbesar dunia dengan omzet 1.000 trilliun rupiah. "Indonesia mesti meniru itu jika ingin mengalahkan pangan impor," ungkapnya.

Dia menjelaskan bahwa koperasi petani di Jepang memiliki jaringan yang kuat, dari desa hingga pasar. Mereka bisa mengontrol dari hulu ke hilir, bahkan memengaruhi keputusan politik. "Jika kebijakan politik tidak pro pertanian, bisa diturunkan pejabatnya," tegas Awan.

Idealnya, kata Awan, program korporatisasi petani yang tengah didorong pemerintah berbasiskan pada koperasi-koperasi petani yang jumlahnya sudah banyak, tinggal meningkatkan standarnya. Selain itu, perlu diperkuat dari sisi kemampuan sumber daya manusianya dengan penguasaan teknologi informasi.

Kemudian, institusi kelembagaannya dibenahi dari sisi bisnis dan jaringan, dan selanjutnya mendorong mereka untuk menguasai sarana produksi, teknologi permodalan. "Intinya, pemerintah harus mendorong agar petani itu naik kelas," katanya.

Gangguan Pasokan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2020 memperlihatkan petani merugi karena harga komoditas rendah dan gangguan rantai pasokan akibat pandemi Covid-19.

Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan rasio pendapatan petani terhadap pengeluaran rumah tangga, turun 0,85 persen menjadi 99,47 pada Mei dari bulan sebelumnya. Nilai di bawah 100 itu menunjukkan, pengeluaran petani lebih tinggi dari pendapatan. NTP perkebunan rakyat turun paling tajam yakni 2,30 persen, diikuti petani hortikultura dan sayuran, yaitu 0,58 persen dan 0,54 persen.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, baru-baru ini menyatakan, perkebunan rakyat terpukul karena aksesibilitas ke negara lain lebih ketat. Sektor pertanian yang mempekerjakan lebih dari seperempat penduduk Indonesia, telah terdampak oleh pembatasan sosial untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Organisasi Perdagangan Dunia memperkirakan, perdagangan global akan turun 32 persen tahun ini.

SPI mencatat harga produk yang sangat bergantung pada ekspor, seperti minyak kelapa sawit, turut terpengaruh. Harga tandan buah segar di Riau, mencapai 1.170 rupiah atau 8,3 sen dollar AS per kg, sehingga sangat merugikan petani.

Pemerintah sendiri telah mengalokasikan 34 triliun rupiah untuk subsidi bunga pinjaman dan relaksasi kredit usaha rakyat (KUR), namun tidak semua petani punya jaminan untuk ikut program relaksasi.

Peneliti di Pusat Studi Kebijakan Indonesia, Galuh Octania, mengatakan pandemi telah menambah kerugian petani karena hasil panen melimpah sedangkan permintaan konsumsi turun. Inflasi yang sangat rendah 2,19 persen secara tahunan pada Mei mengisyaratkan lemahnya daya beli masyarakat pada bulan puasa yang biasanya menjadi puncak konsumsi.

Meskipun pemerintah telah berkomitmen menyalurkan bantuan tunai sebesar 300 ribu rupiah selama tiga bulan kepada 2,7 juta petani miskin dan berencana menyalurkan berbagai macam bantuan seperti pupuk dan benih senilai 300 ribu rupiah, namun tidak banyak menolong.

Di sisi lain, TaniHub Group, perusahaan produk pertanian online, melaporkan, gangguan logistik sebenarnya dapat menyebabkan petani menaikkan harga untuk mengimbangi kerugian. Akibatnya, harga produk tertentu mungkin lebih tinggi ketika tiba di Jakarta dari provinsi penghasil, meskipun sedang musim panen.

Meskipun pemerintah telah membebaskan logistik makanan dari pembatasan, yang secara bertahap dihapus di beberapa tempat, banyak pengemudi truk harus menjalani isolasi mandiri 14 hari sambil mengambil persediaan di daerah yang terkena virus. Kondisi itu meningkatkan biaya operasional. n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top