Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Teknik geoengineering berupa pemblokiran sinar matahari menciptakan kekhawatiran akan terjadinya masalah iklim baru. Cara ini juga dianggap tidak mendorong bagi pengurangan emisi karbon, meski sebenarnya dapat dipakai jika nantinya kenaikan suhu tidak terkendali.

Kontroversi Peredupan Sinar Matahari

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Terhamburnya emisi karbon dioksida (CO2) dan gas metana (CH4) menjadi penyebab utama dari pemanasan global. Perjanjian Iklim Paris pada 2015 membatasi kenaikan suhu hingga maksimal 2 derajat Celsius di atas nilai praindustri, dan berusaha menetapkan target batasnya pada 1,5 derajat Celsius pada 2050.
Namun, jika komitmen nyata untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan langkah lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada atmosfer gagal dilakukan, hal tersebut berdampak mundur dengan pemanasan hingga 2,7 derajat Celsius yang membahayakan kehidupan.
Untuk mengatasi masalah perubahan iklim, banyak pakar ahli geoengineering surya melakukan gagasan pemblokiran sinar matahari. Secara teori caranya dengan menyebarkan partikel reflektif berumur panjang ke atmosfer atas untuk menghalangi sinar matahari dan mengurangi pemanasan global.
Namun belakangan teori yang mulai menjadi nyata, banyak mendapatkan penentangan. Yang terbaru para ilmuwan menentang skema rekayasa skala planet yang dirancang untuk mendinginkan permukaan Bumi. Upaya mengurangi dampak pemanasan global berpotensi berbahaya dan harus larang oleh pemerintah, kata lebih dari 60 pakar kebijakan dan ilmuwan.
Para pakar dalam suratnya bertanda tangan menyatakan, menyuntikkan miliaran partikel belerang ke atmosfer tengah rencana untuk modifikasi radiasi Matahari (solar radiation modification/SRM) dengan mengembalikan sebagian kecil sinar matahari. Cara ini mengandung konsekuensi bisa lebih besar daripada manfaat apa pun.
Penandatangan surat terbuka termasuk Frank Biermann, seorang profesor tata kelola keberlanjutan global di Universitas Utrecht, Aarti Gupta, seorang profesor tata kelola lingkungan global di Universitas Wageningen di Belanda, Profesor Melissa Leach, Direktur Institut Studi Pembangunan di Sussex, Inggris, dan Dirk Messner, Presiden Badan Lingkungan Jerman.
Penggunaan peredup Matahari yang diusulkan bisa dilakukan banyak orang di berbagai negara, bisa terjadi sesukanya. "Penyebaran geoengineering surya tidak dapat diatur secara global dengan cara yang adil, inklusif dan efektif," kata surat itu, didukung oleh komentar di jurnal WIREs Climate Change.
"Oleh karena itu, kami menyerukan tindakan politik segera dari pemerintah, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan aktor lain untuk mencegah normalisasi geoengineering surya sebagai opsi kebijakan iklim," lanjut surat tersebut seperti dikutip Channel News Asia.
Pemblokiran sinar matahari dikemukakan sebagai respon atas perubahan iklim. Pada abad ke 19 saja dimana emisi karbon tidak setinggi saat ini telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1,1 derajat Celcius. Perubahan ini telah meningkatkan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas yang mematikan, kekeringan, dan badai besar.
Negara-negara di dunia telah berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu permukaan Bumi hingga 1,5 Celsius di atas tingkat pertengahan abad ke-19, tetapi para ilmuwan yang didukung PBB mengatakan bahwa ambang batas itu akan dilanggar, mungkin dalam satu dekade ini.
Letusan Gunung
Kegagalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong pemanasan global telah menyebabkan beberapa pembuat kebijakan untuk merangkul geoengineering surya. Telah lama diketahui bahwa menyuntikkan sejumlah besar partikel reflektif ke atmosfer bagian atas dapat mendinginkan planet ini.
Teori tersebut dibangun salah satunya berdasarkan letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991. Debu dari letusan gunung dengan tinggi 1,745 mdpl itu menurunkan suhu rata-rata permukaan Bumi selama lebih dari setahun.
Menurut para ilmuwan, peredupan radiasi Matahari secara artifisial kemungkinan akan mengganggu hujan monsun di Asia selatan dan Afrika barat. Di samping itu dapat merusak tanaman tadah hujan yang menjadi sumber makanan ratusan juta orang.
"Injeksi sulfat stratosfer melemahkan monsun musim panas Afrika dan Asia dan menyebabkan pengeringan di Amazon," kata Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dalam penilaian ilmiah terbarunya.
Namun, pada wilayah lain dapat mengambil manfaatnya. Penelitian tahun lalu menyimpulkan bahwa SRM dapat secara tajam mengurangi risiko kekeringan di Afrika bagian selatan. Para ilmuwan juga khawatir tentang apa yang disebut kejutan terminasi jika penyemaian atmosfer dengan partikel penghalang Matahari tiba-tiba berhenti.
"Jika SRM dihentikan karena alasan apa pun, ada keyakinan tinggi suhu permukaan Bumi akan meningkat dengan cepat. Selain itu, teknologi tidak akan melakukan apa pun untuk menghentikan penumpukan CO2 di atmosfer yang terus berlanjut, yang secara harfiah mengubah kimia laut," tulis pernyataan IPCC
Surat terbuka itu juga memperingatkan bahwa meningkatkan harapan tentang perbaikan cepat untuk iklim dapat membuat pemerintah, bisnis, dan masyarakat tidak termotivasi untuk melakukan yang terbaik untuk mencapai dekarbonisasi atau netralitas karbon sesegera mungkin.
Akhirnya, saat ini tidak ada sistem tata kelola global untuk memantau atau menerapkan skema geoengineering surya, yang dapat digerakkan hari ini oleh satu negara atau bahkan miliarder dengan roket.
Surat terbuka itu menyerukan perjanjian non-penggunaan internasional yang akan memblokir pendanaan nasional, melarang eksperimen di luar ruangan, dan menolak memberikan hak paten untuk teknologi SRM.
"Perjanjian semacam itu tidak akan melarang penelitian atmosfer atau iklim seperti itu," kata surat itu.
Bentuk lain dari modifikasi radiasi Matahari termasuk mencerahkan awan laut dengan menaburkannya dengan partikel garam, dan menempatkan cermin raksasa di ruang angkasa untuk memantulkan sinar matahari yang terikat ke Bumi. Sementara teknik yang kurang kontroversial termasuk memutihkan atap dan permukaan jalan, dan mencerahkan warna daun tanaman melalui modifikasi genetik. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top