Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Diet makanan olahan ultra yang tinggi lemak dan pengawet bisa merusak memori di otak. Kerusakan terjadi pada daerah hipokampus dan amigdala, yang membentuk, mengatur, dan menyimpan ingatan dan meningkatkan kesadaran serta naluri untuk bertahan hidup.

Konsumsi Makanan Olahan Bisa Merusak Memori Otak

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Makanan olahan yang bisa disimpan dalam bentuk beku dalam waktu lama, tidak baik bagi kesehatan. Diet makanan siap saji seperti keripik kentang, pasta, pizza, daging beku, dan makanan lainnya yang mengandung pengawet, bisa menyebabkan respons peradangan.
Hasil pengujian yang dilakukan Ohio State University pada tikus menyatakan diet makanan olahan menyebabkan respons peradangan pada otak yang menua. Peradangan yang terjadi pada hewan pengerat itu disertai dengan tanda-tanda perilaku kehilangan ingatan.
"Namun pada tikus dewasa muda peradangan saraf dan masalah kognitif tidak terdeteksi, meski mereka makan makanan sejenis," kata penulis studi senior seorang peneliti di The Ohio State University Institute for Behavioral Medicine Research dan profesor psikiatri dan kesehatan perilaku, Ruth Barrientos, seperti dikutip Science Daily edisi 14 Oktober lalu.
Dalam penelitian tersebut para peneliti juga menemukan melengkapi diet makanan olahan dengan asam lemak omega-3 docosahexaenoic acid (DHA) dapat mencegah masalah memori dan mengurangi efek inflamasi hampir seluruhnya pada tikus yang lebih tua.
Seperti diketahui bahwa diet makanan olahan yang diproses dengan bahan pengawet dan tinggi lemak juga dikaitkan dengan obesitas dan diabetes tipe 2 pada manusia. Konsumen lebih tua menurut penelitian perlu mengurangi makanan ultra olahan yang memang enak di lidah itu. Apalagi menurut penelitian makanan olahan berbahaya bagi otak yang menua karena hanya dalam empat pekan saja terbukti memberi dampak tidak baik.
"Fakta bahwa kita melihat efek ini begitu cepat sedikit mengkhawatirkan," kata Barrientos.
Temuan yang dipublikasikan pada jurnal Brain Behavior and Immunity ini menunjukkan mengonsumsi makanan olahan dapat menghasilkan defisit memori yang signifikan dan tiba-tiba pada populasi yang menua. Penurunan memori yang cepat memiliki kemungkinan lebih besar untuk berkembang menjadi penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer.
Di laboratorium Barrientos menemukan peradangan pada otak tikus pada daerah hipokampus dan amigdala. Yang pertama merupakan bagian otak yang penting untuk membentuk, mengatur, dan menyimpan ingatan baru, sedangkan yang kedua berperan meningkatkan kesadaran, naluri bertahan hidup, dan memori pada saat individu mengalami emosi yang menganggap dirinya dalam bahaya.
Sementara DHA adalah asam lemak omega-3 yang hadir bersama dengan eicosapentaenoic acid (EPA) pada ikan dan makanan laut lainnya. Salah satu fungsi DHA bagi otak menangkis respons peradangan, dan dalam penelitian tersebut bertindak melawan peradangan otak yang disebabkan oleh makanan olahan.
Suplemen DHA
Penelitian secara acak menugaskan tikus jantan berusia 3 bulan dan 24 bulan ke makanan normal mereka, yang mengandung 32 persen kalori dari protein, 54 persen karbohidrat kompleks berbasis gandum, dan 14 persen lemak. Tikus juga diberi makanan olahan yang mengandung 19,6 persen kalori dari protein, 63,3 persen karbohidrat olahan tepung jagung, maltodekstrin dan sukrosa, dan 17,1 persen lemak, dan diet olahan yang dilengkapi dengan DHA.
Hasilnya aktivasi gen yang terkait dengan protein proinflamasi yang kuat dan penanda peradangan lainnya meningkat secara signifikan di hipokampus dan amigdala tikus tua yang makan makanan olahan saja, dibandingkan dengan tikus muda dengan diet apa pun dan tikus tua yang makan suplemen DHA.
Tikus yang lebih tua pada diet olahan juga menunjukkan tanda kehilangan memori dalam eksperimen perilaku yang tidak terlihat pada tikus muda. Mereka lupa telah menghabiskan waktu di ruang asing dalam beberapa hari, tanda masalah dengan memori kontekstual di hipokampus, dan tidak menunjukkan perilaku ketakutan antisipatif terhadap isyarat bahaya, yang menunjukkan ada kelainan pada amigdala. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top