Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kongres Wina, Upaya Menemukan Perdamaian Eropa

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Invasi Napoleon yang menguasai hampir seluruh Eropa menciptakan kekacauan besar setelah beberapa waktu Eropa mengalami masa damai berdasarkan Perjanjian Utrecht. Untuk menciptakan keseimbangan baru dilakukan Kongres Wina pada September 1814.

Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang juga dikenal sebagai Napoleon I, adalah seorang pemimpin militer dan kaisar Prancis yang menaklukkan sebagian besar Eropa pada awal abad ke-19. Ia menguasai hampir seluruh Eropa kecuali beberapa wilayah yang dikuasai adalah sebagian Spanyol, Italia, Belanda, Belgia, Jerman, dan lainnya.

Namun pada Mei 1814, ia berhasil dikalahkan. Selanjutnya gabungan kekuatan besar seperti Russia, Inggris Raya, Austria, dan Prusia, mengundang negara-negara Eropa lainnya untuk mengirim utusan yang berkuasa penuh ke Wina untuk konferensi perdamaian.

Di akhir musim panas, kaisar, raja, pangeran, menteri, dan perwakilan, berkumpul di ibu kota Austria. Prioritas pertama Kongres Wina adalah menangani masalah teritorial konfigurasi baru negara-negara Jerman, reorganisasi Eropa tengah, perbatasan Italia tengah, dan pemindahan teritorial di Skandinavia.

Meskipun sekutu nyaris menyerang pembagian Polandia, pada Februari 1815 mereka telah menghindari perang baru berkat serangkaian kompromi yang cerdik. Ada masalah mendesak lainnya yang harus diselesaikan yaitu hak-hak orang Yahudi Jerman, penghapusan perdagangan budak dan navigasi di sungai-sungai Eropa.

Agenda lainnya adalah pemulihan keluarga kerajaan Bourbon di Prancis, Spanyol, dan Napoli, konstitusi Swiss, masalah prioritas diplomatik dan yang tidak kalah pentingnya, pendirian konfederasi Jerman baru untuk menggantikan Kekaisaran Romawi Suci yang sudah mati.

Pada Maret 1815, di tengah semua negosiasi yang panas ini, hal yang tidak pernah terpikirkan terjadi. Napoleon melarikan diri dari tempat pengasingannya di Elba dan menduduki kembali takhta Prancis, memulai petualangan yang dikenal sebagai Seratus Hari.

Akibat berkuasanya kembali Napoleon, sekutu yang terdiri dari kekuatan besar itu bersatu sekali lagi. Mereka berhasil mengalahkan kembali pasukan Napoleon dengan telak di Waterloo (Waterloo sekitar 15 kilometer selatan Brussels,Belgia) pada 18 Juni 1815, sembilan hari setelah penandatanganan Undang-Undang Terakhir Kongres Wina.

Untuk mencegah Prancis menjadi ancaman lagi bagi Eropa, mereka dengan singkat menerima gagasan untuk memecah-mecah negara itu, seperti yang terjadi pada Polandia beberapa dekade sebelumnya. Namun pada akhirnya, Prancis lolos dengan pendudukan militer asing dan ganti rugi perang yang besar yang disulut negara itu.

Napoleon dikirim ke Saint Helena, sebuah pulau milik Inggris di sebelah selatan Samudra Atlantik, 2.800 kilometer sebelah barat pesisir Angola. Langkah ini dilakukan untuk menghindari ancaman kerusakan dari perang yang dikobarkan sampai kematiannya.

Menyelesaikan konsekuensi perang memang cukup sulit, oleh karenanya Kekuatan Besar memiliki agenda yang lebih luas yaitu menciptakan sistem politik baru di Eropa. Sebelumnya melalui pada 1713, telah terjadi perjanjian perdamaian di Peace of Utrecht atau Perjanjian Utrecht. Perjanjian tersebut membantu mengakhiri Perang Suksesi Spanyol.

Dalam perjanjian ini tertulis bahwa cucu Louis XIV, Philip V, dari Spanyol diakui sebagai Raja Spanyol. Tetapi Kerajaan Eropa Spanyol dibagi-bagi. Savoy sebuah wilayah di Pegunungan Alpen bagian barat menerima Sisilia dan sebagian Lombardia, sedangkan Kaisar Charles VI akan menerima Spanyol Belanda (Spaanse Nederlanden), Napoli, Sardinia, dan sebagian Milano.

Berdasarkan prinsip perimbangan kekuatan, diperlukan dua aliansi militer yang berlawanan (awalnya masing-masing dipimpin oleh Prancis dan Austria). Sebaliknya, pemenang atas Napoleon bertujuan untuk "Sistem Perdamaian" hanya ada satu blok kekuatan politik di Eropa.

Hal ini menyebabkan terciptanya siklus konferensi multilateral reguler di berbagai kota Eropa, yang disebut Sistem Kongres, yang berfungsi setidaknya dari 1815 hingga 1822. Itu adalah upaya pertama dalam sejarah untuk membangun tatanan Kontinental yang damai berdasarkan kerjasama aktif negara-negara besar.

Reformasi Perjanjian Utrecht

Mengapa para peserta di Wina ingin mereformasi sistem Perjanjian Utrecht? Mengapa kerja sama aktif menjadi begitu diperlukan pada tahun 1814 dan bukan sebelumnya? Penjelasannya cukup jelas yaitu untuk menciptakan ekuilibrium (keseimbangan kekuatan) yang sebelumnya telah rusak.

Selama abad ke-18, kekuatan militer terbagi rata di antara dua aliansi utama, tetapi Napoleon telah membalikkan keseimbangan. Dengan pasukan yang kuat, dia berhasil menghancurkan semua lawannya kecuali Inggris dan Russia, menciptakan kerajaan kontinental.

Mengalahkannya membutuhkan upaya bersama besar-besaran dari kekuatan lain. Titik baliknya adalah pertempuran Leipzig pada Oktober 1813, yang melibatkan lebih dari setengah juta tentara. Lebih buruk lagi, perang Napoleon telah menghancurkan perbatasan dan merusak institusi politik di beberapa bagian benua, terutama di Jerman.

Untuk menyembuhkan lukanya, Eropa membutuhkan perdamaian. Oleh karena itu, prioritas pertama adalah melindunginya dari dua masalah kronisnya: petualangan hegemonik (sehingga tidak akan pernah ada lagi Kerajaan Napoleon) dan perang internecine (sehingga tidak ada alasan untuk saling bertarung).

Menariknya, Sistem Kongres adalah kombinasi dari penangkal berbeda yang diusulkan oleh Kekuatan Besar. Kabinet Inggris dan para diplomatnya, yang dipimpin oleh Viscount Castlereagh, masih percaya pada formula awalnya yaitu "perimbangan kekuatan". Secara tradisional, strategi Inggris antihegemonik dan berwawasan ke depan.

Di Wina, seperti di Utrecht seabad sebelumnya, Inggris menganggap penting untuk menahan Prancis dari kemungkinan kebangkitan militer. Memang, pada 1815, Inggris mendukung skenario negara penyangga yang serupa di sekitar Prancis seperti yang telah dilakukan pada 1713, terdiri dari kerajaan Belanda dari utara ke selatan, Swiss dan Savoy.

Inggris melangkah lebih jauh kali ini, mereka menginginkan tatanan Eropa baru yang bersimpati pada kepentingan mereka sendiri, yang sebagian besar tentang perdagangan laut. Jika itu bisa diperoleh dengan perundingan, bukan dengan persaingan militer. Negara ini bersedia untuk sering mempertahankan hubungan diplomatik dengan kekuatan Eropa lainnya.

Akhirnya para utusannya secara aktif berpartisipasi dalam Sistem Kongres di tahun-tahun berikutnya. Adapun Pangeran Klemens von Metternich, seorang diplomat dari Austria, juga mengandalkan suatu bentuk "perimbangan kekuasaan", meskipun penerapannya lebih membumi.

Pada 1813, ketika tentara Russia yang menang berbaris ke Jerman dan membebaskan Berlin, bergabung dengan koalisi melawan Prancis telah menjadi proposisi hidup atau mati bagi Austria. Dengan demikian Russia bergabung dalam pertempuran Leipzig dan kampanye perang berikutnya. hay/I-1

Awal Bagi Resolusi Konflik Berdasarkan Diplomasi

Dalam buku The Congress of Vienna and Its Legacy: War and Great Power Diplomacy after Napoleon, sejarawan diplomatik Mark Jarrett memandang Kongres Wina dan munculnya Sistem Kongres pascaperang sebagai awal dari diplomasi sebenarnya dari era modern.

Terlepas dari kegagalan ini, Sistem Kongres Wina tetap memiliki pengaruh besar pada sejarah Eropa selanjutnya, ketergantungan Eropa kontemporer pada diplomasi sebagai sarana utama resolusi konflik, pengabdian pada multilateralisme dan penekanan pada organisasi internasional menjadi sarana untuk menjaga perdamaian.

Semua gagasan penggunaan tindakan bersama untuk mempromosikan legitimasi internasional adalah produk sampingan dari Kongres Wina. Terlepas dari motivasi para diplomat Kongres, sistem yang mereka buat dengan susah payah memberi pengalaman belajar internasional yang berfungsi sebagai pendahulu yang dibutuhkan untuk Liga Bangsa-Bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan bahkan Uni Eropa.

Dalam penafsiran ulang yang luas, Jarrett berpendapat bahwa Sistem Kongres adalah sejenis manajemen konflik internasional, menandai upaya tulus pertama untuk membentuk tatanan internasional berdasarkan konsensus daripada konflik. "Eropa telah siap untuk menerima tingkat kerja sama internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai respons terhadap Revolusi Prancis," tulis dia.

Setelah beberapa dekade revolusi dan perang, tantangan periode pascaperang, menurut Jarrett, adalah untuk menerima kekuatan-kekuatan baru ini sambil memulihkan dasar-dasar ketertiban dan stabilitas yang hilang di tahun-tahun revolusi dan perselisihan. Pada September 1814, para pemimpin Eropa yang bermaksud baik, datang ke Wina untuk mengembangkan seperangkat perlindungan dan lembaga baru yang ambisius untuk mengatasi masalah-masalah internasional.

Diplomat peserta kongres, hampir membangun kerangka kelembagaan, termasuk konferensi berkala dan adopsi seperangkat prinsip umum, tetapi kemudian mundur. Pertemuan besar ini hanyalah sebagian dari puncak kemenangan yang mirip dengan kongres pascaperang sebelumnya di Münster, Osnabrück, Nijmegen, Ryswick, dan Utrecht.

Pada tahun-tahun setelah Kongres Wina, tujuan utama para diplomat Eropa bergeser dari kompromi teratur menjadi memerangi ancaman revolusi sosial, setelah pasca-Napoleon, terjadi kerusuhan di Jerman, Inggris, dan Prancis, serta revolusi di Amerika Latin, Spanyol, Portugal, Napoli, Piedmont, Yunani, dan Rumania.

Sebagai tanggapan, Tsar Alexander I, dan lawan bicaranya yang sangat konservatif Pangeran Klemens von Metternich, melihat pelestarian hierarki sosial yang ada sebagai raison d'être atau tujuan dari Sistem Kongres yang sedang berkembang, dan satu-satunya obat untuk penyakit menular revolusioner yang menyebar di hadapan mereka.

Akibatnya, reaksi sekutu terhadap Revolusi Spanyol 1820 mengungkapkan perbedaan pendapat di antara sekutu masa perang mengenai tujuan sistem Kongres. "Krisis di Spanyol, berfungsi untuk memisahkan sekutu masa perang," catat Jarrett.

Ketakutan akan revolusi menebarkan pertikaian di antara para anggotanya dan menjamin kehancurannya. Perlawanan Inggris terhadap tatanan besar pascaperang untuk menjaga stabilitas Eropa sering kali menjadi penghalang bagi pembentukan sistem aliansi Eropa.

Sebagian besar, para diplomat Kongres melihat pembentukan kembali sistem internasional untuk memberi jangkar untuk mempertahankan tatanan sosial yang ada. Bahkan Inggris setuju dalam teori bahwa melakukan politik internasional melalui konsensus daripada dengan kekuatan senjata.

"Mungkin kegagalan sebenarnya dari Kongres (diplomat) bukanlah perlawanan mereka terhadap ancaman revolusi kekerasan, tetapi dalam kegagalan mereka untuk menyetujui tingkat perubahan moderat yang lebih besar," kata Jarrett. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top