Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Konflik Brutal Awak Kapal Batavia, Pembantaian Paling Barbar dalam Sejarah Maritim

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pulau-pulau di pantai barat Australia menjadi saksi bagi tragedi rombongan armada kapal Batavia milik VOC. Konflik kepala armada dengan anak buah yang memberontak menciptakan kebrutalan dan barbarisme yang memakan banyak korban.

Hampir 400 tahun yang lalu, beberapa jam sebelum fajar pada 4 Juni 1629, sebuah kapal induk Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) dirusak di Morning Reef dekat Pulau Beacon, sekitar 60 kilometer lepas pantai Australia barat.

Itu adalah pelayaran perdana Batavia, menuju koloni Hindia Timur Belanda di Jakarta modern. Tragedi penenggelaman kapal akan dibayangi oleh pemberontakan berikutnya di antara orang-orang yang selamat di Kepulauan Houtman Abrolhos di barat Australia yang terisolasi.

Selama abad ke-17 dan ke-18, VOC mendominasi perdagangan rempah-rempah antara Hindia Timur dan Belanda. Berlayar di sepanjang jalur perdagangan Samudra Hindia merupakan usaha berisiko bagi mereka yang mencari ketenaran dan kekayaan dari VOC.

Rute tersebut memudahkan pelayaran kapal dengan memanfaatkan angin baratRoaring Fortiesyang bertiup dari Tanjung Harapan. Kapal lurus menuju Samudra Hindia ke benua Australia. Selanjutnya berbelok ke utara, mengarah ke Indonesia.

Peristiwa dimulai ketika pada 28 Oktober 1628, kapal Batavia berangkat dari pelabuhan Texel, Belanda. Selain Batavia, kapal ini ditemani kapal lain sehingga totalnya sebanyak delapan kapal. Panjang kapal tersebut 46 meter dan dipersenjatai dengan 24 meriam besi tuang.

Sebagai kapal dagang, Batavia sarat dengan koin perak dan perlengkapan bangunan yang ditujukan untuk koloni Batavia yang makmur. Ketika kembali kapal membawa rempah-rempah dalam jumlah yang banyak, seperti lada sebagai komoditas VOC di Eropa.

Diperkirakan lebih dari 340 orang berada dalam rombongan Batavia kapal itu. Lebih dari dua pertiga dari kompi itu adalah para pelaut dan perwira, sekitar 100 tentara dan sisanya pelancong pribadi menuju koloni.

Malang, armada tersebut mengalami badai di Laut Utara. Badai membuat rombongan kapal hanya tersisa tiga yaitu Batavia, Assendelft dan Buren. Peristiwa kembali berubah menjadi menakutkan setelah mengitari Tanjung Harapan sebulan lebih cepat dari jadwal. Badai lain memisahkan Batavia dari kapal-kapal yang tersisa, sehingga kapal ini sendirian ketika menyeberangi Samudera Hindia menuju pantai barat Australia.

Pada titik ini, hanya ada sedikit kerja sama antara kedua pemimpin ekspedisi tersebut. Komandan Francisco Pelsaert adalah kepala armada yang berlayar dari Texel. Ia berhadapan dengan kapten kapal Batavia adalah Ariaen Jacobsz.

Struktur komando ganda ini adalah praktik umum di VOC, tetapi sayangnya selama pelayaran ini Pelsaert dan Jacobsz saling tidak percaya setelah perselisihan di India dua tahun sebelumnya. Masalah semakin memburuk karena wakil Pelsaert, Jeronimus Cornelisz, bersama Jacobsz, merencanakan pemberontakan terhadapnya.

Pemberontakan yang direncanakan tidak pernah terjadi karena Batavia terjebak Morning Reef. Angin kencang, kurangnya pengetahuan tentang garis bujur kapal dan kondisi waktu malam mungkin digabungkan untuk mendorong kapal menuju bencana. Diperkirakan hingga 100 orang tewas segera setelah Batavia menabrak karang.

Terdampar di Kepulauan

Keesokan paginya sebagian besar yang selamat diangkut dengan sekoci ke Pulau Beacon, pulau pasir di bagian utara Kepulauan Houtman Abrolhos. Posisi pulau dua kilometer jauhnya dari lokasi bangkai kapal Batavia.

Pelsaert, Jacobsz, dan perwira lainnya mendirikan kemah di tempat yang kemudian dikenal sebagai Pulau Pengkhianat. Cornelisz dan sekelompok kecil tetap bersama kapal sampai benar-benar tenggelam sembilan hari kemudian. Bahkan saat ini Pulau Houtman Abrolhos terisolasi dan sebagian besar tidak berpenghuni. Ada sedikit atau tidak ada air segar atau makanan yang tersedia di kamp-kamp yang terdampar.

Hal itu membuat Pelsaert berpikir untuk mendapatkan perbekalan dengan berlayar ke daratan Australia yang tidak diketahui atau menempuh jarak 3.000 kilometer ke utara ke koloni Batavia. Ia memilih menggunakanlong boatyang memiliki panjang hanya 9,1 meter untuk berlayar ke Pulau Jawa.

Pada malam hari, Pelsaert berangkat berlayar dengan perwira dan awak seniornya termasuk Jacobsz. Jumlah rombongan mencapai 48 orang. Kapal tiba di Batavia 33 hari kemudian. Sebuah keajaiban karena kapal tersebut sangat kecil untuk membawa orang sebanyak itu.

Sesampai di Batavia, Jacobsz ditangkap karena kelalaian, atas laporan Pelsaert. Gubernur Jenderal Coen kemudian mengatur pelayaran agar Pelsaert kembali bersama kapal Saardam untuk mencoba menyelamatkan orang-orang yang terlantar di Kepulauan Houtman Abrolhos.

Tetapi Pelsaert akhirnya tidak ikut bersama rombongan 63 orang penyelamatan rombongan yang tertinggal. Sebanyak 63 hari kemudian, keputusasaan dan barbarisme terjadi dan mendatangkan malapetaka. Ketidakhadiran pemimpin itu, membuat Cornelisz menjadi seorang diktator.

Dia mendengar kabar bahwa Pelsaert telah diberitahu tentang rencana hukuman kepada para pemberontakan sebelumnya. Ia tahu bahwa penyelamatan apa pun akan menyebabkan hukuman dan kemungkinan kematiannya.

Dengan licik, Cornelisz berusaha merebut kendali di antara para penyintas untuk menggagalkan upaya penyelamatan apapun sebelum dia dapat ditangkap. Dia mulai menjatah makanan dan mengambil benda berguna yang terdampar di pantai dari bangkai kapal. Sebuah dewan dibentuk dengan Cornelisz sebagai ketuanya dan anggotanya terdiri dari orang-orang setianya.

Cornelisz menuntut agar semua senjata diserahkan kepada anak buahnya. Rakit apa pun yang dibuat oleh orang yang selamat lainnya juga harus diserahkan kepada dewan. Dia membagi populasi menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyebarkannya di antara pulau-pulau terdekat.

Selama beberapa pekan berikutnya, Cornelisz memerintahkan anak buahnya untuk membantai kamp yang tersisa. Pembunuhan itu dikatakan termasuk memotong leher orang di malam hari dan membawa orang lain keluar untuk ditenggelamkan di rakit darurat.

Orang sakit dan lemah menjadi sasaran untuk ditenggelamkan. Para perempuan diperkosa. Cornelisz mengancam bahwa bertahan hidup membutuhkan kesetiaan penuh kepadanya. Diperkirakan 125 pria, wanita dan anak-anak dibunuh oleh Cornelisz dan anak buahnya selama masa teror mereka.

Sebanyak 22 tentara diangkut ke Pulau Wallabi Barat, delapan kilometer jauhnya, dan diberi tahu bahwa mereka harus mencari air bersih. Begitu sampai di sana, senjata mereka dilepaskan dan dibiarkan mati dengan sendirinya.

Cornelisz salah sangka. Orang-orang tersebut berhasil bertahan hidup dengan memakan apa yang ditemui di Pulau Wallabi Kecil. Orang-orang itu mengirimkan sinyal asap untuk mengumumkan bahwa mereka telah menemukan air tawar.

Berita adanya air tawar memperumit rencana dominasi Cornelisz, karena dia khawatir penyelamat mana pun akan melihat kelompok itu di pulau itu terlebih dahulu. Untuk menghalangi upaya apa pun dari pihak penyelamat ia mengirim sekelompok penjahatnya untuk mengakhiri situasi Pulau Wallabi tetapi mereka tidak berhasil kembali.

Cornelisz kemudian memutuskan untuk membujuk pemimpin perwira yang terdampar, Wiebbe Hayes, untuk bergabung dengannya. Namun sebaliknya, Hayes berhasil menangkap Cornelisz dan mengakhiri pemerintahan teror yang dilakukan. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top