Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Transisi Energi

Komitmen Bangun EBT Harus Direalisasikan dengan Instruksi Presiden

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional untuk segera melakukan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) harus segera direalisasikan. Realisasi itu penting karena negara-negara Eropa tidak akan main-main menghentikan impor barang dari Indonesia dan mengenakan denda 4 persen dari penjualan ke perusahaan yang merusak lingkungan terutama hutan.

Indonesia harus siap dengan kondisi tersebut jika tidak segera merealisikan komitmen untuk beralih ke EBT guna menekan emisi karbon yang memicu pemanasan global.

Agar komitmen tersebut bisa berjalan harus ditopang dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) dengan jadwal yang jelas serta sanksi yang menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengimplementasikan pembangkit EBT.

Selama ini, EBT sama sekali tidak dibangun karena hanya mengacu pada keputusan rapat yang sifatnya sebatas imbauan dan tidak mengikat. Pembangunan EBT pun bukan berarti langsung mematikan pembangkit yang sudah jalan, tetapi dipensiunkan secara bertahap seiring dengan meningkatnya kapasitas EBT.

Dalam Inpres itu pun diharapkan menghilangkan semua hambatan pembangunan EBT, termasuk soal komponen impor dan mengharuskan PLN menyerap listrik EBT sebanyak mungkin tanpa pembatasan dan dengan harga yang wajar.

Isi Inpres juga harus membatalkan semua perjanjian pembangunan PLTU batu bara yang belum dimulai karena force majeure, yaitu hasil COP26 yang menghapus secara bertahap penggunaan batu bara.

Tidak ada yang dirugikan dengan pembatalan tersebut karena itu demi kepentingan negara dan dunia. Dengan Inpres, mau tak mau pembangunan EBT harus dilaksanakan.

Sebelumnya, harga dari pemerintah untuk listrik EBT dibeli seharga 15 sen per kWh, namun seiring berjalannya waktu makin turun menjadi 11 sen per kWh. Kalau harga tersebut terus ditekan sehingga tidak wajar seperti di Bali dan Jawa Barat, maka pembangunan tidak akan berlanjut karena swasta akan default.

Meskipun ada perusahaan yang mau tanda tangan, namun mereka tidak membangun. Anehnya, tidak digugat oleh PLN karena sebenarnya mereka adalah "konconya". Jadi, mereka membuat kontrak yang tidak masuk akal dan terkesan murah, tapi tidak dibangun.

Pengamat Energi, Fabby Tumiwa, menegaskan sebenarnya sudah ada Peraturan Presiden, sudah dibahas sejak 2019 dan enam bulan terakhir mandek di Kemenkeu.

Perpres yang mengatur harga EBT itu sudah lama ditunggu-tunggu pelaku usaha. Dalam Perpres, jelasnya, mengatur tiga mekanisme harga EBT, yakni harga feed in tariff untuk pembangkit energi terbarukan <5 megawatt, harga patokan, dan harga kesepakatan.

Di beleid itu kalau feed in tariff sudah ditetapkan maka harus dibeli oleh PLN. Harga berdasarkan kesepakatan pengembang dan PLN.

Mengenai kontrak PLN untuk offtake EBT agreement, Fabby mengatakan harus masuk akal dan wajar harga belinya. Harga beli EBT itu idealnya mencerminkan biaya teknologi yang wajar, tingkat risiko dan marjin yang wajar bagi pengembang. Tidak harus murah sekali kalau memang biaya investasinya tinggi.

Permintaan Global

Secara terpisah, Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, mendesak pemerintah mempercepat transisi ke energi hijau untuk memenuhi permintaan pasar global.

"Konsumen sudah butuh produk yang hijau. Maksudnya, produk-produk yang dihasilkan oleh energi bersih, bukan lagi energi kotor," kata Berly dalam diskusi ekonomi 2022, di Jakarta, Rabu (24/11).

Konsumen kini lebih cerdas, sebelum membeli suatu produk akan memastikan terlebih dahulu, produk tersebut dihasilkan dari energi hijau atau bukan.

Kebijakan hijau pemerintah selama ini masih kurang agresif untuk menekan perubahan iklim. RI perlu belajar dari Vietnam yang sangat agresif melakukan transisi energi ke energi bersih.

Kapasitas energi solar PV negara itu meningkat pesat dari hanya 105 megawatt (MW) pada tahun 2018 menjadi 16.504 MW atau 16,5 gigawatt (GW) pada tahun 2020 atau meningkat 157 kali.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top