Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Klaim Bebas BPA Kemasan Nonpolikarbonat Bahayakan Konsumen

Foto : ISTIMEWA

Galon

A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Klaim atau pelabelan Bebas BPA atau BPA free terhadap kemasan non polikarbonat yang sama sekali tidak menggunakan bisphenol A (BPA) dalam pembuatan kemasannya berpotensi lebih membahayakan publik atau konsumen.Selain itu, klaim tersebut juga terkesan mendiskreditkan produk-produk pangan yang menggunakan kemasan yang mengandung BPA.

Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma, memaparkan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan sudah jelas menyebutkan produk-produk yang secara alami tidak mengandung suatu bahan, tidak boleh mengklaim bebas atau free dari bahan yang tidak dikandungnya itu. Dia mencontohkan klaim minyak goreng non kolesterol.

"Ini tidak bolehkarena minyak goreng itu pada dasarnya kan memang tidak mengandung kolesterol," ujarnya dalam diskusi media dengan topik Perlu Tidaknya Peringatan Zat Kimia Berbahaya di Kemasan Pangan Dicantumkan Pada Label, yang diselenggarakan Jumat (17/3).

Menurut Nugraha, hal serupa juga tidak boleh dilakukan oleh produk kemasan galon sekali pakai yang berbahan Polyethylene Terephthalate (PET) yang mengklaim kemasannya bebas BPA. Hal ini karena secara alami kemasan plastic PET itu memang tidak menggunakan BPA.

"Mestinya tidak boleh pakai klaim BPA free. Jika itu diizinkan, berarti kan ada dua hal yang akan bertabrakan di Peraturan BPOM yang akan direvisi itu nantinya," tuturnya.

Sebagai ahli pangan, Nugraha justru melihat air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan plastik selain polikarbonat dan melabelinya dengan bebas BPA, itu sangat beresiko dan berpotensi lebih membahayakan publik.Pasalnya jika semua plastik boleh mencantumkan BPA free masyarakat juga tidak tahu bahwa pada kemasan itu juga ada zat-zat kimia yang lebih beresiko terhadap kesehatan dibandingkan BPA, seperti PVC, PS, PET dan melamin, yang semuanya mengandung senyawa berbahaya juga.

Ia menambahkan, PET yang sebenarnya sudah populer dengan kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) disinyalir juga bisa menyebabkan gagal ginjal dan ginjal akut. Selain itu juga ada asetaldehida yang terbentuk saat reaksi proses pembuatan pencetakan film atau kemasan, juga bisa menyebabkan karsinogenik.

Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal. Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.

"Jadi, bisa digambarkan betapa pelabelan BPA free dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen. Memang betul plastik-plastik ini nggak ada BPA-nya, tetapi ternyata kan ada senyawa berbahayanya. Zat-zat kimia berbahaya yang ada dalam kemasannya itu sebenarnya yang harus diinformasikan dalam labelnya kepada publik. Bukan malah bangga melabeli kemasannya dengan BPA free," ucap Nugraha.

Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), Sahid Hadi menilai adanya kesan unsur persaingan usaha terhadap pelabelan BPA free pada kemasan yang tidak mengandung BPA seperti galon sekali pakai yang berbahan PET. "Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang," katanya.

Padahal, menurutnya, seharusnya tugas negara yang paling utama adalah untuk memastikan agar usaha air minum dalam kemasan galon itu tidak mengganggu kesehatan. Dia menuturkan AMDK galon itu tidak hanya yang galon sekali pakai tapi juga guna ulang yang semua harus diperlakukan secara adil.

"Jika telah mengetahui bahwa ada banyak macam AMDK galon, negara harus memastikan agar semua jenis kemasan galon itu tidak boleh mengganggu kesehatan. Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja," ucapnya.

Terkait pelabelan BPA free pada galon non Polikarbonat ini, Ketua Umum Aliansi Independen (AJI), Sasmito Madrim, yang juga menjadi pembicara menekankan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan-kemasan yang membahayakan kesehatan. Menurut dia, tujuan kode etik dan prinsip jurnalisme yang dimuat dalam Undang-Undang Pers adalah untuk kepentingan publik.

"Jadi, media seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat," katanya.

Dia mengatakan bahwa media itu berperan penting dalam memberikan edukasi ke publik. Persoalannya, menurutnya, pengetahuan para awak media itu sering tidak mendalam. Semangat temen-teman media dalam melindungi kesehatan publik itu cukup besar.

"Hanya memang temen-teman jurnalis atau editor, pemred, atau medianya sendiri kurang teredukasi terkait apa yang ditulisnya, termasuk soal zat-zat yang berbahaya dalam kemasan pangan," ungkapnya.

Karena itu, dia mengusulkan perlunya kolaborasi para peneliti dengan media. Hal itu bertujuan supaya media itu memiliki "pisau bedah" yang cukup kuat ketika melihat sebuah persoalan, sehingga mereka bisa melihat masalah itu dan disampaikan ke publik dengan benar.

"Sebaiknya, ada penularan ilmu dari para peneliti terkait zat-zat kimia berbahaya dalam kemasan pangan itu ke media. Hal itu bertujuanagar para media bisa mengemasnya dalam bahasa yang sederhana ke publik dan publik menjadi terlindungi dari zat-zat berbahaya," ujarnya.

Ketua Badan Pengawas Periklanan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP-P3I) Susilo Dwi Hatmanto yang juga sebagai penyaji, lebih menyoroti masalah etika dalam beriklan. Menurutnya, dalam etika iklan itu ada yang namanya asas, dimana iklan dan pelaku periklanan itu harus bersikap jujur, benar dan bertanggung jawab.

"Iklan produk itu seharusnya jujur, benar, dan bertanggung jawab. Jangan sampai dimain-mainkan atau ada yang disembunyikan," paparnya.

Dia mencontohkan iklan produk yang melanggar etika seperti pemuatanartikel yang ditayangkan di sebuah media daring baru-baru ini. Saat pertama ditayangkan, artikel tersebut berlaku jujur dengan menyebutkan bahwa artikelnya merupakan kerjasama dengan pengiklan.

"Tapi anehnya, tiba-tiba tulisan kerjasama dengan pengiklan tersebut kemudian dicabut secara diam-diam. Ini jelas sangat melanggar etika periklanan," ucapnya.

Dia menyampaikan bahwa iklan itu juga tidak bisa disembunyikan atau disamarkan. Artinya, tulisan itu harus secara jelas mengidentifikasikan itu adalah iklan.

"Iklan itu juga tidak boleh mendiskreditkan produk pesaing seperti mengklaim BPA free padahal kemasannya tidak mengandung BPA. Ini kan jelas-jelas menjatuhkan produk-produk yang mengandung kemasan ber-BPA," ucapnya.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top