Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Industri Petrokimia I Industri Petrokimia Lemah karena Migas Dijadikan sebagai Komoditas

Kilang Terintegrasi Dibutuhkan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih akseleratif lagi dalam membangun kilang minyak dan gas bumi (migas) yang terintegtasi dengan industri petrokimia. Pasalnya, hingga saat ini, RI belum memiliki kilang migas terintegrasi sehingga memicu impor nonmigas yang membengkak dalam tiga bulan terakhir.

Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, menegaskan semenjak Desember lalu, neraca perdagangan RI berada pada zona negatif karena dipicu impor sektor nonmigas. Puncaknya terjadi pada Januari lalu berlanjut ke Februari. "Defisit sektor nonmigas karena penetrasi impor yang begitu besar," tegasnya, di Jakarta, Selasa (20/3).

Faisal menjelaskan pembengkakan impor nonmigas karena industri nasional tidak berkembang lebih pesat sehingga hampir semua jenis makanan dan minuman (bukan produk) masuk ke RI.

Barang-barang itu datang dari Taiwan, Korea, Malaysia, Singapua, Thailand yang sebetulnya modalnya cuma air dan gula. Produk makanan dan minuman yang diimpor tersebut menggunakan kemasan berbasis petrokimia, dan petrokimia kita lemah sekali, sehingga tidak kuat menghasilkan produk turunan dalam jumlah besar.

Menurutnya, lemahnya industri petrokimia itu karena pemerintah menjadikan migas sebagai komoditas, sebagai sumber penerimaan negara, APBN hingga subsidi, bukan menjadikannya sebagai ujung tombak pembangunan. Padahal kilang itu selain menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) juga hasilkan side produk yang namanya Nafta.

Hal serupa juga pada gas yang kalau diolah jadi LNG atau gas alam cair akan hasilkan produk sampingan yang namanya auromatik dan berbagai macam lagi. Keduanya merupakan bahan baku utama pengembangan industri petrokimia yang dipakai hampir semua jenis produk, mulai dari pipa, plastik, testil hingga obat.

"Kenapa itu terjadi? karena kita tidak mengintegrasikan industri hulu migas, industri kilang, dengan industri hulu petrokimia, seperti di Singapura, Malaysia, Thailand. Padahal, kita punya modal yakni kilang di Bontang, Cilacap, Tuban," kata Faisal.

Dijelaskannya, Pertamina tidak mempunyai petrochemical industrial kompleks dan canggih. Di sisi lain, PT Candra Asri memiliki fasilitas petokimia yang cangih, tetapi tidak mempunyai kilang. Jadi, side produk yang diproduksi Pertamina dijual di luar negeri dan Chandra Asri membelinya dari luar negeri sehingga tidak sinergis.

Tugas Berat

Atas dasar itulah makanya tugas Pertamina ke depan makin berat karena selain mencari sumur baru agar cadangan migas tidak cepat turun, juga harus membangun aliansi strategis agar memperkokoh struktur industri terintegrasi kilang.

Menurutnya, itu membuat Pertamina kehilangan fokus membangun kilang terintegrasi. "Kilang terintegrasi bisa menekan defisit perdagangan," ungkap Faisal.

Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmat Sigit Dwiwahjono, menambahkan pembangunan kilang terintegrasi itu merupakan keharusan. "Soalnya saat ini yang dimiliki Pertamina belum benar-benar terintegrasi, baru digunakan sebagai bahan bakar," tutupnya.

ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top