Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pejabat Negara - Banyak Agenda Ketatanegaraan yang Tempatkan MPR di Posisi Strategis

Ketua MPR Harus Bebas dari Politik Transaksional

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Posisi Ketua MPR sedang menjadi perbincangan yang hangat karena tengah diperebutkan elite-elite politik di Tanah Air. Perebutan tersebut harus terbebas dari potensi transaksi politik yang rentan terjadi. Pengisian jabatan Ketua MPR harus bebas dari politik transaksional. "Jabatan Ketua MPR harus berhati-hati dengan politik transaksional. Penting upaya ini dimonitor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ada potensi transaksional yang besar, ini sangat memungkinkan untuk membuka adanya jual beli jabatan. KPK harus memonitoring lobi politik Ketua MPR," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz pada diskusi media di Jakarta, Selasa (30/7). Donal menjelaskan ada beberapa alasan terkait jabatan Ketua MPR rawan politik transaksional. Posisi Ketua MPR saat ini sering diasumsikan sebagai jalan tol yang paling dekat untuk menjadi Presiden RI di 2024. Sebab posisi Ketua MPR setara dengan presiden dan seringkali agenda kenegaraan melibatkan MPR dan presiden di satu ruang dan waktu. "Elite politik melihat gerbong kabinet sesak, kita bisa lihat bahwa koalisi Jokowi- Ma'ruf sudah cukup gemuk.

Maka, cara paling mudah adalah melirik posisi Ketua MPR, karena banyak agenda ketatanegaraan kita ke depannya yang menempatkan MPR di posisi yang strategis," ujar Donal. Posisi MPR yang strategis itu, jelas dia, yakni ada rencana amendemen UUD 1945, seperti muncul isu perpanjangan masa jabatan presiden, mengubah susunan lembaga negara dan konstitusi negara. Selain itu, muncul isu pengembalian fungsi-fungsi MPR sebelumnya, seperti penentuan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan pemilihan presiden melalui MPR. "Posisi Ketua MPR ini berbeda dibanding 2014 lalu. Orang lebih tertarik perebutan Ketua MPR pada 2019 ini. MPR bisa mengubah tatanan negara dan inilah yang membuat orang rebutan posisi tersebut," kata Donal.

Agenda Terselubung

Atas dasar itulah, ujar Donal, posisi Ketua MPR saat ini menjadi seksi untuk diperebutkan. Hal inilah yang juga menjadi asumsi ada agenda terselubung di balik perebutan itu, sehingga politik transaksional rentan sekali terjadi.

Ia pun menganjurkan partai politik untuk tidak menempatkan kader-kadernya yang memiliki kasus korupsi politik sebagai calon Ketua MPR. "Sekali lagi, Ketua MPR harus bebas dari transaksi politik. Ketua MPR harus bersih dari persoalan hukum masa lalu," tegasnya. Di sisi lain, pakar hukum tata negara STIH Jentara, Bivitri Susanti, mengatakan perebutan kursi Ketua MPR dengan isu amendemen UUD 1945 sangat berpotensi merugikan negara. Bisa jadi agenda tersebut dimanfaatkan elite politik tertentu untuk mengakomodasi kepentingan pribadi dan golongan.

"Saya khawatir amendemen ini dibawa pada agenda yang jauh dari harapan kita, seperti bola liar. Seperti kalau sekarang, saya tahu persis ada kelompok yang ingin balik ke UUD 1945 asli, ada juga yang ingin mengembalikan MPR lembaga tertinggi, dan ada yang menginginkan GBHN," ucapnya. Sementara dari sisi politik, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI, Hurriyah, mengatakan perebutan posisi Ketua MPR hal yang wajar.

Sebab, pendekatan elite politik di Indonesia diperlukan interaksi, negosiasi, dan kompromi. Pada akhirnya, posisi Pimpinan MPR dihasilkan dari proses pendekatan elite politik tersebut. "Jadi, melihat kompromi di antara elite, baik dalam power sharing, dan sebagainya, itu adalah hal wajar. Menjadi tidak wajar, ketika ada transaksi politik uang. Tapi proses negosiasi itu sendiri adalah lumrah, tidak mungkin elite itu diasumsikan sebagai kelompok tunggal mereka tidak perlu negosiasi," pungkasnya. tri/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top