Ketika Warga Tionghoa dan Bali Membahas Soal Akulturasi Budaya
Kegiatan dialog budaya yang membahas akulturasi Tionghoa dan Bali di Denpasar, Sabtu (28/1/2023).
Foto: ANTARA/Inti BaliDENPASAR - Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Bali melaksanakan dialog budaya yang membahas akulturasi Tionghoa dan Bali sebelum menggelar puncak Festival Imlek Bersama 2574.
Dialog budaya itu diisi pembicara utama Ketua Inti Bali Putu Agung Prianta dan Rektor ISI Denpasar Wayan Kun Adnyana serta diskusi budayawan I Made Sendra, Ida Ratu Shri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun dan I Nyoman Darma Putra.
Di Denpasar, Sabtu (28/1), Ida Ratu Shri menceritakan sejarah akulturasi Tionghoa dan Bali, salah satunya soal keberadaan prasasti Tabanendra yang melacak jejak keberadaan etnis Tionghoa di Bali.
"Salah satunya dibuktikan dengan kisah Dalem Balingkang dan Kang Xing Wei," sebutnya.
Dari sana kata dia, muncullah kebudayaan yang bersamaan dengan ditetapkannya akulturasi secara spiritual, budaya, politik, dan ekonomi, seperti penggunaan uang kepeng sebagai alat transaksi.
Bhagawanta Gubernur Bali itu berharap ke depan hubungan Tionghoa dan Bali tidak hanya tentang budaya, namun dapat turut bersama dalam membangun manusia Bali yang unggul.
"Semoga dialog ini bisa menjadi tauladan menyebarkan kesejukan di dunia ini. Terlebih terselenggaranya G20 agar Bali bisa menjadi contoh perdamaian dunia," ujarnya.
Sementara itu, I Made Sendra dalam dialog budaya memaparkan soal revitalisasi akulturasi budaya Tionghoa dan Bali, yang menurutnya tak terbatas pada urusan ekonomi atau perdagangan, namun juga tentang penaklukan.
Sendra mengatakan bahwa hal tersebut tercermin dari sejarah masa lampau yang terlihat pada miniatur stupa Ratnagiri Odisa India dan Pura Pagulingan di Gianyar Bali, serta Pagoda di Tiongkok yang mirip dengan Meru di Pura-pura di Bali.
"Juga terkait sarana sembahyang di Bali yakni Kwangen, yang selalu berisikan uang kepeng. Dalam uang kepeng Tiongkok sendiri terdapat sejumlah huruf Tiongkok yang artinya harapan-harapan terbaik, seperti perdamaian, kebahagiaan dan ketenangan," tuturnya.
Budayawan sekaligus sejarawan Universitas Udayana itu melihat bahwa sejarah Bali dan Tiongkok sudah berumur 2.000 tahun jika dilihat dari hubungan diplomatik budaya, sehingga memiliki kesamaan genetik budaya.
Di luar dialog budaya yang digelar di ISI Denpasar, Inti Bali menggelar sejumlah rangkaian Imlek, mulai dari Senin (23/1) lalu dan puncak festival pada hari Sabtu dan Minggu (29/1).
Secara kesusastraan, Dharma Putra melihat akulturasi yang dikemas dalam festival perdana ini patut diapresiasi.
"Festival ini bisa mengedukasi 60 tahun ke belakang, saya sangat terharu dengan festival ini. Ini bisa memberi manfaat, terutama budaya dan ekonomi," kata dia.
Lebih jauh, esensi perdamaian menurutnya sangat kental terasa melalui akulturasi Tionghoa dan Bali. Di mana keduanya memiliki kedekatan hingga pertukaran nilai spiritualitas dan religius, tapi tidak pernah ada konflik.
- Baca Juga: Koster Akan Jalankan Haluan Pembangunan Bali Baru
- Baca Juga: Kemkomdigi Komitmen Perangi Judi Online
Redaktur: Lili Lestari
Penulis: Antara
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Siswa SMK Hanyut di Air Terjun Lahat, Tim SAR Lakukan Pencarian
- 2 Diduga Ada Kecurangan, Bawaslu Sumsel Rekomendasikan Pemungutan Suara Ulang di Empat TPS
- 3 Pemerintah Jangan Malu Membatalkan Kenaikan PPN
- 4 Calon Wakil Wali Kota Armuji Sebut Warga Surabaya Cerdas Gunakan Hak Pilih
- 5 Cuaca Hari Ini, Wilayah Indonesia Umumnya Diguyur Hujan
Berita Terkini
- Serunya Shopping Race di 17 Kota, Makin Banyak Belanja Bareng BNI
- Menolong Pemulung Tanpa Identitas Diri yang Sedang Sakit Parah
- Berpengaruh di Industri Perbankan, Royke Tumilaar Raih CEO of The Year 2024
- Tips Memilih Bimbingan Belajar UTBK untuk Raih Kampus Impian
- Polisi Selidiki Kasus Bullying Siswi SMP di Kota Serang