Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ketika Jepang "Berguru" kepada Tiongkok di Masa Lalu

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Hubungan Jepang dan Tiongkok saat ini penuh dengan rivalitas. Namun pada abad kuno, hubungan keduanya cukup baik, di mana Jepang banyak belajar budaya, agama, sistem pemerintahan, hingga perdagangan dari Tiongkok.

Saat Jepang belum menjadi apa-apa, Tiongkok di masa lalu sudah sangat maju. Oleh karena itu, budayanya banyak diadopsi oleh masyarakat Jepang, baik secara langsung ke negara itu atau melalui belajar dari masyarakat di Semenanjung Korea yang lebih dekat.

Daftar panjang gagasan yang diperoleh dari Tiongkok seperti menanam padi, menulis, agama Buddha, model pemerintahan terpusat, ujian pegawai negeri, arsitektur kuil, pakaian, seni, sastra musik, dan kebiasaan makan. Sementara pada hubungan perdagangan, jauh melampaui ikatan budaya dan diplomatik.

Pada akhir zaman Jomon sekitar 400 SM atau bahkan lebih awal, kontak asing pertama terutama pendatang dari Jepang, mulai berdatangan dari Benua Asia, khususnya melalui Semenanjung Korea.

Mereka membawa tembikar baru, perunggu, besi, dan teknik pengerjaan logam yang lebih baik yang menghasilkan alat pertanian yang lebih efisien serta persenjataan dan baju besi yang lebih baik.

Pada tingkat politik, Jepang memulai upaya pertamanya dalam hubungan internasional (kokusai kankei) pada akhir periode Yayoi antara 300 SM atau lebih awal hingga sekitar 250 M.

Menurut buku catatan sejarah dari abad 82 M milik Han Shu, utusan dan upeti dikirim ke komandan Tiongkok di Korea Utara oleh Wa. Ini adalah referensi tekstual paling awal yang dibawa ke Jepang.

Sumber referensi sejarah kedua tentang awal hubungan Tiongkok dengan Jepang ditulis oleh Wei Chih pada 297 M. Dalam buku ini ditulis tentang misi upeti pertama Jepang ke Tiongkok yang tercatat dilakukan pada 57 M dan 107 M.

Seorang penguasa Jepang diketahui telah mengirim kedutaan ke wilayah Tiongkok (238, 243, dan 248 M) dan tokoh paling terkenal pada periode itu adalah Ratu Himiko (memerintah 189-248 M). Selama periode Kofun berikutnya (250 SM-538 SM ), utusan terus dikirim ke Tiongkok pada 425 SM, 478 SM dan kemudian sebelas lagi utusan hingga 502 SM.

Yang paling jelas, Jepang diketahui melakukan kontak dengan Tiongkok pada Periode Asuka (538-710 M). Hubungan ini terlihat dari peningkatan pertukaran budaya dengan pengenalan hukum dan hukum pidana berdasarkan yang ada di Tiongkok, penciptaan ibu kota permanen, dan nasionalisasi tanah.

Menurut lamanWorld History, pada periode tersebut pengenalan agama Buddha ke Jepang dimulai sekitar abad ke-6 M dan secara tradisional pada 552 M. Agama itu sebenarnya diperkenalkan oleh seorang biarawan Korea, tetapi dipandang sebagai kepercayaan Tiongkok dan secara resmi diadopsi oleh Kaisar Yomei (memerintah 585-587 M).

Ajaran Buddha memperkuat gagasan tentang masyarakat berlapis dengan tingkat status sosial yang berbeda, dengan kaisar berada di urutan teratas dan dilindungi oleh Empat Raja Penjaga Hukum Buddhis. Aristokrasi juga dapat dengan mudah mengklaim bahwa mereka menikmati posisi istimewa mereka di masyarakat karena mereka telah mengumpulkan jasa dalam kehidupan sebelumnya.

Dengan menganut agama Buddha, Jepang ingin dipandang baik oleh budaya tetangga, yaitu Korea dan Tiongkok, yang peradabannya lebih maju. Hal ini diharapkan meningkatkan reputasi Jepang sebagai negara beradab yang sedang berkembang di Asia timur.

Untuk alasan yang sama, konvensi Tiongkok tentang etiket pengadilan, alamat resmi dan gelar, serta upacara minum teh dan kebiasaan makan juga disalin. Setelah diadopsi secara resmi oleh negara, para biksu, cendekiawan, dan siswa secara teratur dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari ajaran agama Buddha.

Secara lebih mendalam dan membawa kembali pengetahuan itu, bersama dengan seni dan bahkan terkadang relik, untuk kepentingan rakyat Jepang. Sebelumnya, Buddhisme terus berkembang sebagai kepercayaan di India dan Tiongkok dengan sekte-sekte baru berkembang yang akhirnya sampai ke Jepang melalui biksu yang belajar di luar negeri.

Dua dari biksu terpelajar yang paling terkenal adalah Kukai (774-835 M) dan Saicho (767-822 M), yang masing-masing mendirikan sekte Shingon dan Tendai. Biksu penting lainnya adalah Ennin (793-864 M) yang mempelajari Buddhisme esoteris di Tiongkok selama sembilan tahun dan membawa kembali ke Jepang ide-ide baru, teks asli, mandala, dan benda-benda ritual.

Misi Diplomatik

Pangeran Shotoku yang memerintah sebagai wali atas nama Permaisuri Suiko dari 594 M hingga kematiannya pada 622 M. Ia disebut seorang promotor besar hubungan dengan Tiongkok dan merupakan pendukung yang gigih dari segala hal tentang Tiongkok mulai dari sumpit hingga agama Buddha.

Tujuh Belas Pasal Konstitusinya yang terkenal pada 604 M sangat dipengaruhi oleh ide-ide Tao, Konfusianisme, dan Buddha. Shotoku juga mengirim kedutaan resmi ke pengadilan Sui di Tiongkok dari 607 M, kemudian sepanjang abad ke-7 M.

LamanWorld Historymencatat, ada 19 misi yang disponsori negara yang dikirim ke Tiongkok antara 607 M dan 839 M. Misi dipimpin oleh seorang pejabat tinggi pengadilan yang didampingi oleh anggota dewan, sarjana, biarawan, seniman, dokter, musisi, peramal, juru tulis, dan juru bahasa.

Jadi setiap kedutaan dapat mencakup beberapa ratus orang. Para pejabat penting memiliki pengeluaran mereka dipenuhi oleh tuan rumah mereka. Gelar 'penghormatan' pun diberikan dan hadiah diterima sebagai balasannya, terutama lukisan dan buku. hay/N-3

Tiongkok yang Kuat Tidak Pernah Menyerbu Jepang

Hubungan Tiongkok dengan Jepang tidak selalu bersahabat. Pada zaman pemerintahan Yamato misalnya, ketika Kerajaan Silla bersaing menguasai Baekje di Semenanjung Korea pada 660 M. Kerajaan Silla meminta bantuan Angkatan Laut Tang Tiongkok yang besar untuk melawan.

Pasukan pemberontak Baekje membujuk Jepang untuk mengirim 800 kapal di bawah komando Abe No Hirafu untuk membantu upaya mereka mendapatkan kembali kendali atas kerajaan mereka. Namun pasukan gabungan itu dikalahkan pada Pertempuran Baekgang (Hakusonko) di mulut Sungai Geum/Paekchon pada 663 M.

Keberhasilan Kerajaan Silla bersatu dengan Tiongkok mengakibatkan gelombang imigran lain memasuki Jepang dari Kerajaan Baekje dan Goguryeo yang telah runtuh. Setelah kekalahan mereka, Jepang khawatir diserang oleh Silla, yang didukung Tang. Oleh karenanya, sebuah benteng besar dibangun di Dazaifu di tenggara Jepang. Namun ancaman pendudukan Tiongkok tidak pernah terwujud.

Hubungan Jepang yang paling kritis di masa lalu adalah pada masa ini. Meski tahun-tahun ini terjadi ketengangan yang tinggi, namun ancaman pendudukan Tiongkok tidak pernah terwujud. Bahkan ketika Dinasti Mongol yang paling ekspansionis berkuasa, Jepang tidak pernah diserbu oleh dinasti itu.

Selama Periode Heian (794-1185 M), setelah kedutaan terakhir ke Istana Tang pada tahun 838 M, tidak ada lagi hubungan diplomatik formal dengan Tiongkok. Pada periode itu Jepang menjadi agak mengisolasi diri tanpa keharusan untuk mempertahankan perbatasannya atau memulai penaklukan teritorial.

Sekitar 900 M, Dinasti Tang yang agung runtuh dan Tiongkok menjadi negara yang terpecah belah. Fakta ini, membuat berlayar ke benua itu cukup berbahaya. Jepang merespon kondisi ini dengan menciptakan politik mereka sendiri sehingga menyurutkan misi diplomatik antar kedua antara kedua negara.

Walaupun hubungan diplomatik menurun, tapi perdagangan secara sporadis tetap terjadi dan pertukaran budaya berlanjut dengan, seperti sebelumnya. Barang-barang yang diimpor dari TIongkok sebagian besar adalah barang-barang mewah, mulai dari obat-obatan, parfum, kain sutra, brokat, keramik, senjata, baju besi, cengkeh, pewarna, dan alat musik.

Buku-buku juga berdatangan. Sebuah katalog yang berasal dari tahun 891 M mencantumkan lebih dari 1.700 judul Tiongkok yang tersedia di Jepang yang mencakup sejarah, puisi, protokol pengadilan, kedokteran, hukum, dan klasik Konfusianisme. hay/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top