Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keterbukaan Informasi - KPK Maksimalkan Teknologi Informasi untuk Cegah Korupsi

Kesadaran Pejabat Laporkan Kekayaan Masih Rendah

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

KPK terus memberi pemahaman ke pejabat publik pentingnya melaporkan harta kekayaan. Ini dilakukan karena kesadaran pejabat laporkan kekayaan masih rendah.

JAKARTA - Kesadaran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) masih rendah, terutama di jajaran anggota legislatif. Hal ini disampaikan dalam capaian dan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2018 yang menyebut pelaporan anggota legislatif di daerah tidak mencapai 30 persen.

"KPK masih mendapati kepatuhan pelaporan harta oleh anggota legislatif di daerah masih rendah yaitu sekitar 27,85 persen. KPK terus berupaya memberi pemahaman pentingnya melaporkan harta kekayaan sebagai instrumen transparansi bagi pejabat publik," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat menjelaskan capaian dan kinerja KPK tahun 2018, di Jakarta, Rabu (19/12).

Alexander mengatakan KPK terus berupaya meningkatkan kesadaran terhadap kepatuhan LHKPN. Di tahun 2018, KPK telah menciptakan aplikasi untuk mendukung pencegahan tindak pidana korupsi dalam bentuk transparansi bagi penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya.

"Mulai 1 Januari 2018 seluruh wajib LHKPN telah melaporkan hartanya dengan aplikasi elektronik atau e-lhkpn secara periodik pada 1 Januari hingga 31 Maret setiap tahunnya. Aplikasi tersebut dapat diakses melalui tautan https://elhkpn.kpk.go.id/," terangnya.

Alexander menjelaskan pelaporan harta kekayaan melalui aplikasi ini lebih dipermudah. Dari yang seharusnya melampirkan 14 jenis dokumen pendukung, kini wajib lapor hanya perlu melampirkan satu jenis yaitu dokumen kepemilikan harta pada lembaga keuangan.

Dari berbagai penyelenggara negara yang wajib lapor LHKPN, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tingkat kepatuhannya mencapai 80 persen. Menurut Alexander, sampai akhir 2018, KPK telah menerima 192.992 LHKPN.

"Jumlah itu hanya 65,58 persen dari 238.482 wajib lapor di tingkat eksekutif. Sebanyak 24,62 persen dari 18.224 wajib lapor di tingkat legislatif, sebanyak 47,75 persen dari 22.522 wajib lapor di tingkat yudikatif, dan 84,02 persen dari 25.418 wajib lapor BUMN/BUMD," katanya.

Tolak Gratifikasi

Selain kepatuhan LHKPN, dari sisi pencegahan KPK telah mengimbau kepada Pengadilan Negeri (PN) untuk menolak setiap pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan. Dari data Direktorat Gratifikasi, pada tahun 2018 ini KPK menerima 1.990 laporan, 930 di antaranya dinyatakan milik negara, tiga ditetapkan milik penerima, dan 290 laporan masih dalam proses penelaahan.

"Bila dilihat dari instansi pelapor, BUMN/BUMD merupakan institusi paling banyak yang melaporkan gratifikasi dengan 597 laporan, diikuti kementerian dengan 578 laporan, dan pemerintah daerah dengan 380 laporan," kata Alexander.

Dari laporan gratifikasi ini, tambah Alexander, total gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara senilai 8,5 miliar rupiah termasuk di dalamnya uang lebih dari 6,2 miliar rupiah yang telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan berbentuk barang senilai 2,3 miliar rupiah.

Sementara itu, dalam upaya pencegahan korupsi, KPK memaksimalkan penggunaan teknologi informasi yang utamanya pada pendidikan dan peningkatan partisipasi publik.

ola/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Yolanda Permata Putri Syahtanjung

Komentar

Komentar
()

Top