Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Kenali Kekayaan Alam Hutan Hujan Tropis di Ekowisata Bodogol

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Hutan tropis merupakan kekayaan sangat berharga yang perlu terus dilindungi dari kerusakan. Di ekowisata Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, masyarakat dapat mengenal lebih dekat tentang kekayaan alam dari hutan hujan tropis.

Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terdapat Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB). Sejak 12 Desember 1998, tempat yang berada di lereng barat Gunung Gede Pangrango ini terbuka bagi umum sebagai objek ekowisata untuk tujuan edukasi tentang kekayaan alam dari hutan hujan tropis di Indonesia.

PPKAB beralamat beralamat Desa Wates Jaya, Jalan Raya Bogor-Sukabumi KM 18 Cisempur, Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Berada di kawasan hutan, TNGGP jaraknya dari pintu gerbang dengan jalan raya mencapai 7 kilometer. Sedangkan jarak dengan desa terdekat sejauh 3 kilometer.

Kawasan ekowisata ini dikelola oleh Badan Pengelola Harian (BPH) dan merupakan unit manajemen yang terdiri dari komponen TNGGP, masyarakat, dan para relawan. Tempat ini didirikan oleh tiga lembaga yakni Conversation International Indonesia (CII), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI).

Berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), menjadikan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol memiliki tujuan untuk memberi peran bagi keragaman hayati di area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Selain itu juga memberi edukasi mengenai alam di Indonesia secara umum dan mengenai hutan tropis beserta satwa di dalamnya secara khusus.

Tempat ini menjalankan fungsi pendidikan, penelitian dan pariwisata dari TNGGP. Ada tiga program yang ditawarkan ke wisatawan yaitu pendidikan, penelitian, dan ekowisata. Untuk itu, didirikan beberapa fasilitas berupa pintu gerbang, stasiun penelitian biologi, pusat informasi, dan asrama.

Bagi wisatawan tersedia tiga asrama dengan kapasitas masing-masing sebanyak 20 tempat tidur. Di sini terdapat gardu pandang berukuran segi empat. Dari atas gardu pandang ini bisa melihat hutan hutan tropis yang sangat rapat di sekitarnya.

Fasilitas yang lainnya adalah jembatan kanopi dengan panjang 243 meter dengan ketinggian dari 20 meter dari lantai hutan. Dari atas jembatan bisa melihat pemandangan hijau di sekitarnya. Pembangunannya dilakukan masyarakat sekitar dengan dibantu oleh tim ahli.

Dengan adanya jembatan ini wisatawan bisa menikmati alam di sekitar PPKAB menyeberang menikmati keindahan TNGGP. Dibangun pada 1997, jembatan ini memudahkan wisatawan menikmati lebatnya hutan. Masyarakat sekitar juga bisa mendapatkan keuntungan ekonomi dari ekowisata, sekaligus menjadi bumper bagi TNGGP dari kerusakan.

Kawasan TNGGP khususnya yang berada di PPKAB terbagi menjadi beberapa tipe ekosistem berdasarkan ketinggiannya. Pertama ekosistem hutan pegunungan bawah (1000 -1500 mdpl), kedua hutan pegunungan atas (1500-2400 mdpl), ekosistem hutan subalpine (2400-3019 mdpl), dan ekosistem hutan tanaman (didominasi jenis damar).

Selain sebagai pendidikan bagi para tenaga konversi alam tempat juga difungsikan sebagai ekowisata yang merupakan fungsi ketiga bagi taman nasional yaitu fungsi pemanfaatan secara lestari. Bagian pertama dari TNGGP adalah sistem penyangga kehidupan, kedua pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa.

Program-program untuk pengunjung yang ditawarkan oleh PPKAB adalah menikmati beberapa topik-topik yang ditawarkan. Pertama menyingkap rahasia hutan hujan tropis, kedua flora-flora bermanfaat di hutan hujan tropis, mamalia hutan hujan tropis, pengamatan burung (birdwatching), lalu asal usul air, dan trekking di hutan (jungle trekking).

Pengamatan dapat dilakukan melalui berbagai jalur untuk memudahkan kegiatan di lapangan. Jalur-jalur dimaksud meliputi Jalur Cipadaranten (panjang 1.640 m), Jalur Rasamala (1.600 m), Jalur Bambu (2.450 m), Jalur Kanopi (1.000 m), Jalur Tangkil (3.500 m), Jalur Tepus (675 m), Jalur Cipanyairan I (940 m), Jalur Cipanyairan II (1.525 m), dan Jalur Afrika (540 m).

Fauna Endemik

Pada jalur-jalur tersebut dapat dijumpai Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) adalah salah satu jenis primata genus Trachypithecus yang merupakan jenis primata endemik Pulau Jawa. Di Pulau Jawa terdapat tiga subspecies Lutung Jawa yaitu Trachypithecus auratus auratus, Trachypithecus auratus mauritius, dan Trachypithecus auratus cristatus.

Fauna lain yang bisa dijumpai adalah Surili Jawa (Presbytis comata). Surili Jawa adalah spesies monyet Dunia Lama terancam yang endemik pada sebagian Pulau Jawa, Indonesia. Hewan ini menyukai hutan primer dan penghuni pohon (arboreal). Terdapat dua subspesies surili jawa, yaitu Presbytis comata comata yang ditemukan di Jawa Barat dan Presbytis comata fredericae yang menghuni hutan Jawa Tengah.

Di kawasan PPKAB terdapat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Kucing besar ini merupakan salah satu dari subspesies macan tutul yang hanya bisa ditemukan di hutan-hutan tropis di Pulau Jawa. Dengan kata lain, Macan Kumbang merupakan salah satu hewan endemik Indonesia.

Sementara jenis burung yang bisa ditemui adalah elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Kepala burung elang ini berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 sentimeter) dan tengkuk yang coklat kekuningan.

Elang Jawa menjadi satu spesies elang berukuran satwa ini lah yang menjadi ide bagi terciptanya lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda. Sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.

Burung pemangsa selanjutnya adalah elang-ular bido (Spilornis cheela) yang adalah sejenis elang besar yang menyebar luas di Asia. Elang ini berwarna hitam dengan garis putih di ujung belakang sayap, terlihat di saat terbang seperti garis yang tebal.

Burung lainnya adalah pergam punggung-hitam (Ducula lacernulata). Jenis burung dari keluarga keluarga Columbidae dari genus Ducula. Burung ini merupakan jenis burung pemakan buah-buahan yang memiliki habitat di hutan pegunungan. Ciri fisik burung tersebut memiliki tubuh berukuran besar (45 sentimeter), berwarna sangat gelap, kepala, leher dan tubuh bagian bawah abu-abu kemerah-jambuan. Variasi warna kepala abu-abu dan merah jambu. Tubuh bagian atas abu-abu tua kecoklatan, dengan garis lebar abu-abu pada ujung ekor.

Sambil mengamati flora dan fauna yang ditemui, pelancong bisa menikmati segarnya Curug Batu Gede Cisuren. Lokasinya di tengah hutan pinus air terjun ini memiliki tebing yang tinggi menjulang. Di sekitarnya fasilitas wisata kemping yang ditujukan pada pengunjung yang ingin menginap di sekitar air terjun.

Jarak PPKAB dengan Kota Bogor mencapai 35,2 kilometer. Perjalanan dari Bogor diarahkan ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong. Dari sini kendaraan diarahkan ke lokasi tersebut.

Sebelum mencapai pintu gerbang (PPKAB) yang berada di dalam kawasan hutan TNGGP, pengunjung akan melewati perkebunan yang luas milik penduduk sekitar. Jalan untuk menuju kawasan wisata tersebut terbilang sedikit memacu adrenalin, namun ini justeru keseruan yang ditawarkan.

Setelah sampai di pintu gerbang pengunjung perlu membayar tiket masuk sebesar 10.000 rupiah. Jam operasionalnya buka mulai 08.00 WIB hingga tutup pada pukul 16.00 WIB. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top