Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kenali 3 Tipe dan Gejala Radang Usus Besar

Foto : Istimewa

Deteksi radang usus

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kepedulian terhadap penyakit radang usus (inflammatory bowel disease/IBD) di dunia termasuk di Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah. Gejalanya sering terabaikan, karena mirip dengan gejala diare biasa.

Menurut penelitian Hubbard, Richard, Card, Tim (2003), pasien dengan IBD memiliki angka mortalitas 17,1 per 1000 orang per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol 12,3 per 1000 orang per tahun.

IBD merupakan sekelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar, di mana elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri, menurut laporan Fakhoury dan Negrulj (2014). IBD merupakan penyakit inflamasi yang memiliki penyebab multifaktorial.

Pada dasarnya, IBD terbagi menjadi 3 tipe, yaitu Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn's Disease (CD). Kini terdapat juga tipe yang lain dari IBD, yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified). Pada UC, terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rektum, sehingga sering merasa nyeri di bagian kiri bawah perut.

Sedangkan pada CD, terjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam, sehingga sering merasa nyeri di bagian kanan bawah perut namun pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang. Pada pasien dengan UC, mempunyai tendensi 6 kali lebih besar berisiko komplikasi menjadi kanker kolorektal dibanding dengan penyakit radang usus lainnya.

"Namun, hanya 5 persen kasus UC berat yang menjadi kanker kolorektal," papar dr. Roswin R.D., MARS, Chief Executive Officer RS Abdi Waluyo di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo Prof. dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, menyatakan, pada dasarnya, penyebab IBD belum diketahui jelas. IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh.

"Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stress berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit," paparnya.

Dalam perkembangannya, IBD yang dibiarkan bisa memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan. Pada UC, penderitanya bisa mengalami toxic megacolon (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat dan meningkatkan risiko kanker usus besar.

"Pada CD, penderitanya bisa mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus). Jika kedua jenis IBD ini dibiarkan, keduanya bisa menciptakan komplikasi seperti: penggumpalan darah, radang kulit, mata, dan sendi, serta komplikasi lainnya," jelasnya.

Diagnosis IBD dibuat berdasarkan keluhan pasien seperti nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan. Selanjutnya diagnosis dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang.

"Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan di antaranya adalah pemeriksaan feses, darah, radiologi (CT scan dan MRI abdomen sesuai indikasi), dan endoskopi saluran cerna. Pasien yang sudah didiagnosis penyakit radang usus akan kemudian dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring," jelas Prof. Marcel.

Tatalaksana penyakit IBD umumnya menggunakan terapi obat (tablet dan injeksi), namun pada beberapa keadaan diperlukan tindakan operasi/pembedahan atau bahkan dilakukan tatalaksana dengan kombinasi obat-obatan dan pembedahan. Beberapa jenis vaksinasi direkomendasikan juga bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi.

"IBD yang kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak, tetapi dengan adanya kemajuan dan inovasi dalam pengobatan dengan obat-obatan, tindakan pembedahan sudah jarang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan," tambahnya.

Ia menerangkan, penanganan pasien IBD memerlukan kerjasama multidisiplin karena manifestasinya dapat multiorgan. IBD center RS Abdi Waluyo memberi serangkaian layanan terpadu oleh dokter-dokter spesialis dan subspesialis dari berbagai bidang, di antaranya pelayanan spesialisasi gastroenterologi, bedah digestif, nutrisi, perawatan psikososial, dan pelayanan lainnya.

Pelayanan holistik yang dihadirkan diantaranya berupa konsultasi awal, penilaian profil risiko dan potensi komplikasi pada perjalanan penyakit IBD, penilaian pola makan oleh dokter spesialis gizi klinik. Selain itu juga dilakukan dukungan psikologis, tinjauan pengobatan terkini, penilaian kesehatan preventif tahunan, serta pemantauan penyakit yang berkelanjutan.

"Pemberian pelayanan pasien secara personal, multidisiplin, dan komprehensif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit radang usus ini," kata Prof. Marcel.

Karena kasus IBD seringkali kompleks dan berat, untuk meningkatkan pelayanan pasien IBD, RS Abdi Waluyo bekerja sama dengan University of Chicago, melalui diskusi kasus sulit, kerja sama simposium dan sesi mini lecture. Kerjasama ini sudah dirintis sejak tahun 2023 dan tetap berlanjut hingga saat ini.

Terkait IBD ini, salah satu hal penting yang juga harus diperhatikan adalah nutrisi bagi pasien. Pada kesempatan yang sama, dr. Nathania S. Sutisna, SpGK, spesialis gizi klinik RS Abdi Waluyo mengatakan, Beberapa faktor risiko IBD berasal darisisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengkonsumsi ultra processed food dan bahan aditif makanan.

"Oleh sebab itu, pola makan pasien IBD harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama. Saat timbul gejala, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dan protein yang lebih tinggi dibanding saat mereka sehat, serta perhatikankeseimbangan cairan," ucapnya

Sedangkan saat tanpa gejala (remisi), nutrisi perlu diatur agar dapat mengembalikan status gizi pasien, dan makanan diberikan secara bertahap sambil tetap memantau gejala. Saat didiagnosis IBD, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi sesuai dengan tingkatan IBD serta berolahraga.

"Oleh sebab itu, selain kesadaran dan pengetahuan untuk pasien, IBD juga perlu diketahui oleh keluarga dan caregiver sehingga bisa memberi support dan menjaga kepatuhan bagi pasien, serta dukungan psikososial agar terhindar dari depresi dan kecemasan," tutupnya.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top