Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Ekonomi Global I Dana Asing yang Keluar dari SBN Rp83,32 Triliun

Kenaikan Suku Bunga Sulit Dihindari

Foto : ISTIMEWA

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati - Kalau sudah terjadi pelarian modal asing dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) dalam dua setengah bulan lebih sudah mencapai 83,32 triliun rupiah. Dana asing yang keluar sebesar itu tercatat sejak Mei, Juni, hingga posisi 21 Juli 2022.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kalau suku bunga tetap dipertahankan, dana dari negara-negara berkembang semakin banyak yang keluar.

» Meski ekonomi AS berkontraksi dua kuartal berturutturut, namun mereka masih menyangkal dilanda resesi.

JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed sangat berdampak signifikan pada negara-negara berkembang. Mereka akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan di pasar surat utang karena investor mulai menahan diri bahkan menghindari aset-aset yang berisiko.

Selain menahan diri, investor yang memegang portofolio termasuk di Surat Utang Negara (SUN) berkembang dan di pasar saham (equity) akhirnya mengambil langkah aksi jual. Investor untuk sementara melarikan modalnya ke pasar yang risikonya lebih rendah dan ke aset-aset save heaven.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui kalau sudah terjadi pelarian modal asing dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) dalam dua setengah bulan lebih sudah mencapai 83,32 triliun rupiah. Dana asing yang keluar sebesar itu tercatat sejak Mei, Juni, hingga posisi 21 Juli 2022.

Mencermati kondisi tersebut, Pengamat Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, nengatakan keputusannya sekarang berada di Bank Indonesia (BI).

"Tergantung BI, apa masih tetap tahan suku bunga atau naik 50 basis point (bps) dalam rapat dewan gubernur (RDG) berikutnya. "Kalau BI naikkan suku bunga rupiah bisa relatif lebih stabil, jadi bergantung arah kebijakan moneternya," kata Bhima.

Kalau Fed naik agresif, dikhawatirkan dana dari negara berkembang semakin banyak ditarik pulang ke negara maju atau masuk ke dollar AS.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan bahwa potensi capital outflow dari kenaikan Fed Rate sangat tergantung pada kondisi makroekonomi, cadangan devisa, dan strategi pengetatan moneter Indonesia.

"Hari ini kita lihat rupiah paling kuat di kawasan. Ini tak lepas dari intervensi BI. Nah, sejauh mana kekuatan cadangan devisa ke depan, BI pasti akan menaikkan suku bunga," kata Faisal.

Dengan berbagai indikator maka tuntutan untuk menaikkan suku bunga semakin sulit dihindari. "Harapannya naiknya pelan-pelan sehingga tidak mengganggu sektor riil dan pemulihan ekonomi. Naik tapi jangan se-hawkish AS sampai sekaligus 75 basis point," papar Faisal.

Kontraksi Lagi

Sementara itu dilaporkan bahwa ekonomi AS mengalami kontraksi lagi pada kuartal kedua di tengah pengetatan kebijakan moneter yang agresif dari Federal Reserve untuk memerangi inflasi yang tinggi. Produk domestik bruto (PDB) AS yang turun dua kuartal berturut-turut ini secara teknis menunjukkan resesi.

PDB AS turun 0,9 persen secara tahunan di kuartal kedua. Angka rilis awal Departemen Perdagangan AS, pada Kamis (28/7), itu jauh lebih rendah ketimbang hasil survei Reuters yang memperkirakan ekonomi AS naik 0,5 persen.

Penurunan dua kuartal berturut-turut dalam PDB memenuhi definisi standar resesi. Namun Biro Riset Ekonomi Nasional, wasit resmi resesi di AS, mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam produksi, lapangan kerja, pendapatan riil, dan indikator lainnya.

Sementara itu, pertumbuhan pekerjaan rata-rata 456.700 per bulan di paruh pertama tahun ini, yang menghasilkan kenaikan upah yang kuat. Namun, risiko penurunan telah meningkat. Pembangunan rumah dan penjualan rumah melemah. Sementara sentimen bisnis dan konsumen telah melunak dalam beberapa bulan terakhir.

Pemerintah AS mengelak komentar adanya resesi karena berusaha menenangkan pemilih menjelang pemilihan paruh waktu 8 November yang akan memutuskan apakah Partai Demokrat yang dipimpin Presiden Joe Biden mempertahankan kendali Kongres AS.

Menteri Keuangan, Janet Yellen, dijadwalkan mengadakan konferensi pers pada hari Kamis untuk membahas keadaan ekonomi AS. Sementara pasar tenaga kerja tetap ketat, ada tanda-tanda kehilangan tenaga.

Laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan klaim awal untuk tunjangan pengangguran negara turun 5.000 menjadi 256.000 yang disesuaikan secara musiman untuk pekan yang berakhir 23 Juli.

Federal Reserve, pada Rabu (27/7), bahwa tidak akan gentar melawan penembusan inflasi paling intens sejak 1980-an di AS, bahkan jika itu berarti "periode berkelanjutan" dari kelemahan ekonomi dan perlambatan pasar kerja.

Gubernur The Fed, Jerome Powell, mendapat pertanyaan tentang apakah ekonomi AS berada dalam atau di puncak resesi, sebuah gagasan yang dia tolak karena perusahaan-perusahaan AS terus merekrut lebih dari 350.000 pekerja tambahan setiap bulan. "Saya tidak berpikir AS saat ini dalam resesi," kata Powell.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top