Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter I BI Diperkirakan Akan Kembali Menaikkan Suku Bunga Acuan

Kenaikan Suku Bunga Mulai Tekan Kurs di "Emerging Market"

Foto : ISTIMEWA

BANK INDONESIA

A   A   A   Pengaturan Font

» Tekanan rupiah masih berlanjut karena The Fed terus mendorong kebijakan pengetatan moneter yang agresif.

» Setelah capital inflow akan diikuti depresiasi mata uang negara emerging market.

JAKARTA - Lonjakan inflasi global telah memaksa bank-bank sentral dunia berlomba menaikkan suku bunga acuan mereka agar tidak terjadi pelarian modal (capital outflow). Bank sentral Swedia, Riksbank, misalnya menaikkan suku bunga acuannnya sebesar 100 basis poin menjadi 1,75 persen pada Selasa (20/9).

Kebijakan itu sebagai langkah mengejutkan dan memperingatkan bahwa lebih banyak lagi otoritas moneter yang akan datang karena berusaha mengatasi lonjakan inflasi.

Kenaikan tersebut adalah yang terbesar sejak November 1992, ketika Riksbank juga menaikkan suku bunga utamanya sebesar 100 basis poin. "Inflasi naik lebih tinggi dari perkiraan Riksbank sebelumnya pada Juni, dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut selama tahun ini," kata Riksbank dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Antara.

Mereka memperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan dalam enam bulan mendatang. Kenaikan akan berlanjut, meskipun perkiraan ekonomi menuju penurunan tajam bahkan mungkin menuju resesi.

Dalam survei Financial Times baru-baru ini menunjukkan mayoritas ekonom terkemuka memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) di atas 4 persen. Level tersebut akan dipertahankan setelah 2023 sebagai upaya untuk melawan inflasi yang tinggi.

Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) telah menaikkan suku bunga tahun ini pada laju tercepat sejak 1981 dan diperkirakan akan menerapkan kenaikan suku bunga 0,75 poin persentase ketiga berturut-turut pada Rabu ke level 3 hingga 3,25 persen.

Hampir 70 persen dari 44 ekonom yang disurvei antara 13 dan 15 September percaya bahwa tingkat FFR dari siklus pengetatan kali ini akan mencapai puncaknya di kisaran 4-5 persen, sedangkan 20 persen berpendapat akan melampaui level tersebut.

Nilai tukar (kurs) rupiah sendiri di pasar uang antarbank pada Selasa (20/9) pagi melemah, dibayangi pengetatan moneter agresif dari The Fed.

"Tekanan rupiah masih karena antisipasi pasar terhadap kemungkinan bank sentral AS yang akan terus mendorong kebijakan pengetatan moneter yang agresif untuk menekan inflasi AS ke level target 2 persen," kata pengamat pasar uang, Ariston Tjendra.

The Fed diproyeksikan akan menaikkan suku bunga 75 basis poin dengan beberapa peluang kenaikan 100 basis poin. Prospek kenaikan suku bunga oleh The Fed menguat seiring rilis data inflasi AS yang lebih tinggi dari estimasi.

Sinyal Hawkish

Analis Makroekonomi Bank Danamon, Irman Faiz, memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) seiring adanya sinyal hawkish dari bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed).

Dia memperkirakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7 days RR Rate) akan naik dari 3,75 persen menjadi 4 persen.

"Kami sejauh ini melihat, BI akan kembali menaikkan suku bunga dengan besaran 25 bps ke 4 persen," kata Irman.

Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan rupiah dan perekonomian Indonesia akan terdampak kebijakan suku bunga tinggi, namun tidak sedalam negara-negara lain.

"Jelas, kita akan ikut terpukul kenaikan suku bunga tinggi global, tapi tidak akan separah negara-negara lain. Karena indikator perekonomian utama sebuah negara adalah indeks harga saham, baru setelah itu nilai tukar, suku bunga, dan inflasi. Kalau melihat data terakhir per 16 September, IHSG kita masih yang teratas di kawasan, masih positif di atas Singapura, yang lain seperti Jepang, Tiongkok, negatif," kata Leo.

Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan jika suku bunga global naik yang dipicu kebijakan moneter kontraktif untuk meredam inflasi, akan menciptakan potensi capital outflow dari negara uang imbal hasil riil surat berharganya rendah. "Ancaman berikutnya adalah depresiasi mata uang negara tersebut," kata Suhartoko.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan jika suku bunga naik, akan diikuti kenaikan tingkat suku bunga kredit. "Khawatirnya sektor usaha yang punya kredit terdampak," katanya.

Direktur Centre of Reform on Economics, Mohammad Faisal, mengatakan dorongan tingkat suku bunga tinggi The Fed pasti mendorong otoritas moneter di berbagai negara termasuk Indonesia untuk melakukan penyesuaian. "Kasus Indonesia di mana BI tidak terlalu mengikuti kebijakan hawkish The Fed sulit dipertahankan karena kondisi dalam negeri hari ini berbeda, yakni adanya kenaikan harga BBM.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top