Sabtu, 30 Nov 2024, 00:48 WIB

Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Berisiko Kurangi Konsumsi Rumah Tangga Rp40,68 Triliun

Direktur Fiscal Justice CELIOS Media Wahyudi Askar (kiri) dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur (kanan) dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Foto: ANTARA/Bayu Saputra

Jakarta - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dinilai berisiko mengurangi konsumsi rumah tangga hingga Rp40,68 triliun serta berpotensi memukul daya beli masyarakat.

“Hasil studi CELIOS mengungkap kebijakan tarif PPN 12 persen berisiko menurunkan PDB (Produk Domestik Bruto) hingga Rp65,3 triliun, mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun,” kata Direktur Fiscal Justice CELIOS Media Wahyudi Askar dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.

Menurut simulasi perhitungan CELIOS, kenaikan PPN 12 persen akan meningkatkan pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, kelompok rentan miskin sebesar Rp153.871 per bulan, dan kelas menengah hingga Rp354.293 per bulan.

Kondisi ini tidak hanya mengancam daya beli masyarakat namun juga memperburuk fenomena penurunan kelas sosial dari kelas menengah menjadi rentan miskin.

Media menekankan bahwa pemerintah seharusnya mencari sumber penerimaan negara lain yang lebih berkeadilan, seperti pajak kekayaan, pajak windfall profit komoditas, pajak produksi batu bara, atau pajak karbon.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur turut mengkritisi kebijakan tersebut.

Ia menyebut kenaikan PPN 12 persen tak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga mempunyai efek rambatan ke sektor pendidikan, lingkungan, dan iklim demokrasi yang semakin menyempit.

“Sementara pemerintah memiliki mandat konstitusi untuk mensejahterakan seluruh warga negaranya,” jelas Isnur.

Menurut dia, kenaikan PPN 12 persen bertentangan dengan Pasal 28D yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Kemudian, imbas kenaikan PPN 12 persen kian menggerus ekonomi rumah tangga dengan tambahnya pengeluaran uang.

Isnur mengatakan, dalam kalkulasi ekonomi sederhana tambahan pengeluaran ini merogoh kocek sekitar Rp1,75 juta per tahun. Kondisi faktual ini jelas kontras bertentangan dengan mandat negara untuk menyejahterakan rakyatnya sehingga kebijakan kenaikan PPN 12 persen bertentangan dengan Pasal 28 H ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Oleh karena itu, YLBHI bersama CELIOS mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk segera merevisi perhitungan tarif PPN dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Mereka meminta pemerintah untuk memerhatikan beberapa poin.

Pertama, agar pemerintah membatalkan kenaikan PPN 12 persen

Kedua, pemerintah dan DPR melakukan merevisi perhitungan Tarif PPN 12 persen dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebelum 1 Januari 2025.

Ketiga, melakukan evaluasi terhadap anggaran jumbo kementerian dan lembaga, terutama kepolisian.

Keempat, meningkatkan ruang partisipasi publik dalam pembahasan keuangan negara.

Kelima, menerapkan kebijakan Pajak Berkeadilan seperti: Pajak Kekayaan, Pajak Windfall Komoditas Ekstraktif, Pajak Produksi Batu Bara, dan Pajak Karbon.

Keenam, menutup kebocoran pajak sektor sawit hingga transaksi perusahaan digital lintas negara juga opsi perpajakan yang bisa dijalankan.

Ketujuh, reformasi sistem perpajakan seperti memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi pemungutan.

Kedelapan, mendorong sektor informal menjadi formal, yang lebih berdampak pada perluasan basis pajak, seperti insentif PPh UMKM 0,1-0,2 persen.

Kesembilan, meninjau kembali pengeluaran negara triliunan rupiah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum jelas penyelesaiannya, dan penyertaan modal negara untuk BUMN yang terbukti tidak menghasilkan nilai tambah dan daya saing.

Lebih lanjut, selain menyoroti dampak ekonomi, CELIOS dan YLBHI juga menyerukan peningkatan ruang partisipasi publik dalam pembahasan kebijakan keuangan negara. Langkah ini dinilai penting agar kebijakan fiskal lebih transparan dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan: