Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pajak Pulsa - Porsi Penerimaan Pajak dari Sektor Informasi dan Komunikasi Tidak Besar

Kemenkeu: Tak Ada Pungutan Baru

Foto : ANTARA/M AGUNG RAJASA

PEMUNGUTAN PPN - Pengunjung melintas di depan gerai kartu perdana dan voucer pulsa di Bandung Electronic Center, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/1). Menteri Keuangan Sri Mulyani akan memberlakukan aturan terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) kepada penyelenggara jasa telekomunikasi hingga distributor tingkat II (server) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana, token listrik mulai 1 Februari 2021.

A   A   A   Pengaturan Font

Kalau PPN pulsa dan token listrik dibebankan kepada masyarakat, tentu akan berdampak pada kelompok masyarakat menengah bawah, khususnya yang berada di luar Jawa.

JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa, voucer, dan token listrik menyusul penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 06/ PMK.03/2021. Ketentuan yang tertuang dalam PMK itu tidak berpengaruh terhadap harga pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer.

"Selama ini, PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer sudah berjalan. Jadi, tidak ada pungutan pajak baru," kata Sri Mulyani melalui akun Instagram, @smindrawati, di Jakarta, Sabtu (31/1).

Menkeu menjelaskan ketentuan itu bertujuan menyederhanakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas pulsa/ kartu perdana, token listrik, dan voucer, serta untuk memberikan kepastian hukum. Adapun penyederhanaan pengenaannya yakni pungutan PPN untuk pulsa/ kartu perdana, dilakukan penyederhanaan pungutan PPN sebatas sampai pada distributor tingkat II (server).

"Sehingga distributor tingkat pengecer yang menjual kepada konsumen akhir tidak perlu memungut PPN lagi," tulis Menkeu.

Untuk PPN token listrik, PPN tidak dikenakan atas nilai token, namun hanya dikenakan atas jasa penjualan/ komisi yang diterima agen penjual. Untuk voucer, PPN tidak dikenakan atas nilai voucer karena voucer adalah alat pembayaran setara dengan uang.

"PPN hanya dikenakan atas jasa penjualan/ pemasaran berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual," tulisnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menyatakan PMK 06/2021 menguntungkan publik dan negara karena memberikan kepastian hukum dan pemungutan disederhanakan. "Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yang biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara," katanya dalam cuitan di akun Twitter pribadinya, @prastow, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan PPN atas jasa telekomunikasi sudah terutang PPN sejak UU Nomor 8 Tahun 1983 atau sejak terbit Peraturan Pemerintah 28 Tahun 1988 yang spesifik mengatur PPN jasa telekomunikasi. Jika dulu pemungut PPN jasa telekomunikasi, lanjut dia, hanya dilakukan Perumtel, kini seiring kecanggihan teknologi, seluruh provider penyedia jasa telekomunikasi memungut PPN.

"Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya," imbuhnya.

Namun, timbul permasalahan di lapangan di distributor dan pengecer terutama menengah-kecil yang sulit menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu sehingga terjadi perselisihan dengan Kantor Pajak.

Konsumsi Melemah

Sebelumnya, sejumlah pihak memprotes kebijakan pemerintah tersebut karena disampaikan di tengah kondisi perekonomian terpuruk akibat melemahnya daya beli masyarakat.

Pengamat Ekonomi dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan pengenaan tarif pajak itu tidak signifikan pada penerimaan yang menurun. Sebab, penerimaan pajak dari sektor informasi dan komunikasi porsinya tidak begitu besar terhadap total penerimaan.

Berbeda dengan pos penerimaan dari sektor lain, seperti manufaktur, perdagangan, ataupun pertambangan. "Kalau PPN ini akan dibebankan kepada masyarakat, tentu akan berdampak pada kelompok masyarakat menengah bawah, khususnya yang berada di luar Jawa," ujarnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, Rosdiana Sijabat, mengatakan, di saat pandemi Covid-19 ini, pemerintah harusnya justru memberi insentif pajak, seperti yang pernah diberikan pemerintah kepada dunia usaha dengan menurunkan tarif listrik, bukan memperluas objek pajak.

ers/uyo/SB/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Djati Waluyo, Selocahyo Basoeki Utomo S, Antara

Komentar

Komentar
()

Top